Tanggung Jawab Partai Politik
Pilkada serentak mendapat ujian serius. Di beberapa daerah, hingga masa perpanjangan kedua (9-11/8), masih menyisakan calon tunggal pasangan yang akan bersaing sebagai kepala daerah. Realitas ini, untuk kesekian kalinya menunjukkan wajah buruk pelembagaan politik di tubuh parpol. Salah satu indikatornya, parpol tak mampu bahkan tak mau menghadirkan kandidat terbaiknya karena beragam alasan politis. Yang terbanyak, argumentasi yang disodorkan dalam polemik soal ketidaksiapan mereka adalah terkait dengan struktur peluang (opportunity structure).
Saat membangun koalisi dalam memajukan kandidat, partai politik kerapkali terlalu nyaman dengan perspektif elite bukan dalam kesadaran penguatan dan konsolidasi demokrasi. Dalam utak-atik koalisi parpol perspektif elite, yang menjadi pertimbangan prospek mengusung kandidat biasanya adalah strategic entry yang lazim dikenal dengan istilah struktur peluang. Meminjam analisis Gary W Cox dalam bukunya Making Vote Count soal strategic entry biasanya dihitung tiga pertimbangan penting kalkulasi politik.
Pertama, biaya memasuki arena (cost of entry), hal ini terkait dengan siapa pemodal dan berapa yang harus dikeluarkan salama pilkada berlangsung. Dalam konteks inilah, kerapkali parpol terjebak ke dalam logika kapitalistik, dan menjadikan pencalonan dalam formula M-C-M (money-commodity-more money). Sehingga, istilah mahar politik, dan segala jenis transaksi berbiaya tinggi dianggap wajar, sah dan apa adanya oleh parpol. Banyak parpol yang enggan mengusung kandidat meski orang terbaik di internal partainya, karena logika “jualan” kursi kandidat semacam ini.
Kedua, beragam keuntungan yang didapat jika duduk di kekuasaan (benefits of office). Hal ini terkait dengan orientasi kekuasaan ke depan, jika kandidat memenangi kontestasi. Tak salah memang partai berburu kekuasaan, karena sejatinya salah satu tujuan berpartai adalah memperoleh kekuasaan. Tetapi, pragmatisme partai dalam memilih kandidat yang berpotensi menang inilah yang menyisakan masalah. Di banyak daerah, partai ramai-ramai berburu petahana atau orang-orang yang memiliki uang. Dampaknya, terjadi konsentrasi kekuatan pada satu pasangan kandidat. Rivalitas terbuka belum menjadi tradisi, sehingga persaingan di banyak daerah melahirkan politik kartel. Politik ditentukan segelintir elite parpol yang menjadi kolaborator dengan orang atau kekuatan ekonomi serta menutup akses dari kompetisi yang sehat dan transparan. Akibatnya, di daerah tersebut sulit mencari kandidat lain, jika pun ada tak lebih dari sekedar kandidat boneka yang dipasang hanya untuk memuluskan kemenangan kandidat sesungguhnya.
Ketiga, kemungkinan perolehan dukungan dari para pemilih (probably of receiving electoral support). Ini terkait dengan paket figur yang dibuat apakah diprediksi laku di pasar pemilih atau tidak. Saat pendaftaran sudah diperpanjang dua kali, beberapa elite parpol dengan ringan berargumentasi, mereka tak ingin mengambil resiko memajukan kandidat yang berpeluang kalah. Logika ini tentu saja dangkal dan menggelikan. Kenapa mereka baru sekarang mengungkapkan hal tersebut? Bukankah sedari awal harusnya parpol mencari dan menyeleksi sejumlah orang di dalam maupun di luar parpol yang memiliki basis dukungan nyata di masyarakat. Tak mudah memang, tetapi sejatinya parpol punya waktu sangat panjang dan leluasa untuk mengidentifikasi sejumlah anak bangsa yang memiliki kapasitas, rekam jejak dan memenuhi prasyarat perhelatan demokrasi elektoral seperti disukai, diterima, popular dan memiliki tingkat keterpilihan yang tinggi.
Partai susah mendapatkan orang terbaik yang bisa bertarung karena mereka kerapkali abai dengan proses panjang. Maunya proses pencalonan berjalan instan, menghasilkan uang dan berpeluang menang. Wajar jika semua bertumpuk di injury time. Proses belum berjalan alamiah bergerak dari bawah. Logika elite masih dominan, sehingga penunjukkan atau rekomendasi berjalan linear, dari pusat ke daerah tanpa sebuah proses komunikasi timbal balik yang memadai. Dampaknya, di beberapa daerah ditemukan sejumlah masalah, antaralain susahnya mencari kandidat kuat yang siap menjadi petarung sejati bukan petarung bayangan.
Saatnya publik membuat perhitungan! Caranya, identifikasi sejumlah parpol di daerah yang sesungguhnya punya peluang mencalonkan kandidat tetapi tidak mengambil peluang tersebut. Publik berhak mempublikasikan sejumlah parpol tersebut melalui beragam kanal media, sehingga masyarakat tahu siapa saja di antara mereka yang abai dengan tanggungjawabnya kepada publik. Parpol adalah pihak paling bertanggungjawab dalam mengawal proses demokrasi kita baik prosedural maupun substansial. Oleh: Gun Gun Heryanto (Tulisan ini telah dipublikasikan di Koran Tempo, 20 Agustus 2015)