Problematika Perilaku Kolektif di Ruang Digital:  Tantangan dan Dampaknya bagi Masyarakat
Problematika Perilaku Kolektif di Ruang Digital: Tantangan dan Dampaknya bagi Masyarakat

Problematika Perilaku Kolektif di Ruang Digital:Tantangan dan Dampaknya bagi Masyarakat

Oleh: Study Rizal L. Kontu*

 

Artikel berjudul “Membangun Etika Kolektif di Era Digital: Tantangan Keadaban di Media Sosial” mengembangkan gagasan dari Gun Gun Heryanto yang disampaikan pada acara Goes to Campus MUI dan Studium Generale di FDIKOM UIN Jakarta. Dekan FDIKOM, yang juga pakar komunikasi politik, merespons positif artikel ini, menegaskan bahwa perilaku kolektif (collective behavior) di ruang digital problematik. Hal ini mencerminkan kompleksitas interaksi sosial yang berkembang pesat karena teknologi digital.

Pertanyaannya adalah apa perilaku kolektif (collective behavior) di ruang digital? Apa saja problematikanya?

Secara sederhana, perilaku kolektif dalam ruang digital mengacu pada tindakan, reaksi, atau pola perilaku yang muncul dari sekelompok individu ketika berinteraksi secara virtual, seperti di media sosial, forum online, atau aplikasi pesan.

Ada beberapa problematika penting yang perlu diperhatikan, yaitu: Pertama, pola komunikasi yang tidak terkontrol, yakni di ruang digital, individu sering kali merasa lebih bebas karena anonimitas, minimnya pengawasan langsung, dan hilangnya norma yang umumnya terbentuk dalam interaksi tatap muka. Ini bisa mengarah pada perilaku yang impulsif dan kurang bertanggung jawab, seperti penyebaran berita hoaks, ujaran kebencian, atau bahkan tindakan intimidasi (cyberbullying). Ketika banyak orang ikut serta dalam perilaku ini, dampak negatifnya semakin terasa.

Kedua, dinamika viral dan pengaruh massa, yakni dalam ruang digital, informasi dapat menyebar dengan cepat karena algoritma yang memprioritaskan konten-konten viral, bahkan jika konten tersebut tidak valid atau cenderung provokatif. Dinamika ini sering kali menyebabkan reaksi berantai di mana banyak orang terpengaruh dan ikut memperbanyak atau memodifikasi informasi tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu. Akibatnya, perilaku kolektif yang terbentuk sering kali menciptakan siklus berita negatif yang merusak kesadaran sosial.

Ketiga, echo chamber dan polarisasi, yakni ruang digital sering kali menciptakan echo chamber, di mana algoritma memperlihatkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Hal ini bisa membuat individu terjebak dalam lingkaran konten yang memperkuat pendapat atau kepercayaannya tanpa paparan terhadap perspektif lain. Perilaku kolektif yang terjadi pada komunitas dengan pandangan seragam ini sering kali meningkatkan polarisasi dan memperkuat bias, yang akhirnya memperlemah dialog dan toleransi di masyarakat.

Keempat, efek psikologis perilaku berkerumun (crowd psychology), yakni dalam ruang digital, kehadiran banyak orang dalam diskusi atau aksi tertentu (seperti tren atau gerakan sosial media) memicu efek psikologis berkerumun. Seringkali, individu merasa perlu berpartisipasi karena banyaknya orang lain yang melakukannya, tanpa benar-benar menyadari dampak atau makna yang lebih mendalam dari tindakan tersebut. Ini menyebabkan munculnya perilaku kolektif yang bisa bersifat dangkal atau hanya mengikuti arus (misalnya, cancel culture yang impulsif atau gerakan tagar tanpa substansi).

Kelima, krisis etika digital dan tanggung jawab kolektif, yakni salah satu problematika utama dari perilaku kolektif di ruang digital adalah lemahnya etika digital. Banyak pengguna mungkin merasa tidak terikat oleh norma atau aturan yang ada di masyarakat nyata sehingga perilaku mereka cenderung bebas atau bahkan destruktif. Rendahnya kesadaran akan tanggung jawab kolektif dalam menjaga kebersihan dan kesehatan interaksi digital ini sering kali menimbulkan berbagai dampak negatif bagi pengguna, komunitas online, bahkan masyarakat luas.

Dengan demikian, pernyataan Dekan FDIKOM ini menggarisbawahi perlunya edukasi dan literasi digital untuk membangun ruang interaksi digital yang sehat. Perlu ada upaya bersama dari masyarakat, institusi pendidikan (apalagi yang berlebel Islam, seperti UIN), dan pemerintah dalam meningkatkan kesadaran etika digital serta mengembangkan kebijakan yang mendukung perilaku kolektif yang bertanggung jawab di dunia digital.

 

* Lektor Kepala dan Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah (P3ID) FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Arikel ini telah tayang di retizen.republika.co.id pada tanggal 04 November 2024.

Tag :