Peneliti Indonesia Berdoa di Masjid Biru yang Berusia 500 Tahun
Peneliti Indonesia Berdoa di Masjid Biru yang Berusia 500 Tahun

Istanbul — Adzan Ashar berkumandang di antara hembusan angin Selat Bosphorus ketika rombongan peneliti Indonesia melangkah memasuki kompleks Masjid Biru, atau yang dikenal sebagai Sultan Ahmed Mosque. Pada siang itu, Istanbul seolah menahan napas — menyambut para tamu dari Nusantara yang datang bukan sekadar untuk mengagumi arsitektur, tetapi untuk beribadah dan meresapi spiritualitas di masjid megah peninggalan Kesultanan Turki Usmani yang telah berdiri selama lima abad.

Menapaki pelataran masjid, para peneliti terlihat larut dalam kekaguman. Kubah-kubah raksasa bertumpuk dengan harmonis, enam menara menjulang seolah menyapa langit, dan ornamen klasik Usmani memancarkan aura agung kebudayaan Islam. Namun keheningan batin menjadi semakin kuat saat mereka melewati karpet merah tebal dan mengambil posisi shaf untuk berdoa bersama.

Delegasi Indonesia terdiri dari lima akademisi dari tiga kampus ternama, yaitu, Prof. Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si. – Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Dr. Muhtadi, M.Si. – Wakil Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, Dr. Deden Mauli Darajat, M.Sc. – Kepala Pusat Informasi dan Humas UIN Jakarta, Dr. Asep Shodiqin, MA – Wakil Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu UIN Bandung, dan Dr. Tata Septayuda Purnama, M.Si. – Dosen Universitas Al-Azhar Indonesia.

Kembali kepada Inti Spiritualitas di Jantung Peradaban Islam

Salat Ashar di Masjid Biru menjadi momen khusyuk yang tak terlupakan. Di balik kemegahan bangunannya, masjid ini menawarkan suasana kesederhanaan spiritual, ribuan jamaah dari berbagai bangsa berdiri sejajar, bahu bersentuhan, tanpa sekat identitas. Ketika takbir dikumandangkan, para peneliti Indonesia hanyut dalam rasa syukur — perjalanan ilmiah mereka di Turki justru menemukan puncaknya dalam ketenangan doa.

Beberapa anggota rombongan tampak menitikkan air mata, menyadari bahwa mereka berkesempatan beribadah di masjid yang sejak 1616 menjadi pusat dakwah dan pendidikan Islam. “Rasanya seperti pulang ke rumah agung umat Islam. Ada getaran haru yang sulit dijelaskan,” ucap salah seorang peneliti.

Selepas salat, rombongan diajak menyusuri interior masjid. Dindingnya dipenuhi lebih dari 20.000 keramik berwarna biru produksi Iznik — warna yang kemudian menciptakan julukan Blue Mosque. Jejeran lampu gantung kristal, motif geometris, kaligrafi ayat Al-Qur’an, hingga cahaya alami dari ratusan jendela memberikan perpaduan estetika dan ketentraman yang langka ditemukan di masjid lain.

Kubah utama setinggi 43 meter yang ditopang empat pilar raksasa elephant feet menegaskan kejayaan arsitektur Usmani, sekaligus menunjukkan bagaimana seni dan ibadah dapat bersatu tanpa menghilangkan inti tauhid. Para peneliti tak luput mengamati bagaimana nilai peradaban Islam tertanam kuat: kesederhanaan dalam bentuk lahiriah, dan keindahan tertinggi tercermin dalam kekhusyukan beribadah.

Refleksi Moderasi Islam di Situs Sejarah Dunia

Kunjungan spiritual ini juga menghadirkan perenungan mendalam bagi para peneliti yang sedang mengkaji peradaban Islam dan dakwah kontemporer. Masjid Biru menjadi bukti historis bahwa kejayaan Islam masa lalu dibangun bukan hanya oleh kekuatan militer, tetapi oleh keluasan ilmu, estetika, dan kebijaksanaan dalam menyebarkan ajaran rahmatan lil 'alamin.

“Di masjid ini kami merenungkan bahwa kekuatan umat bukan hanya pada fisik dan politik, tetapi pada kedalaman spiritual yang melahirkan peradaban,” ungkap Dr. Asep salah satu akademisi.

Salat bersama di ruang utama masjid pun menjadi simbol bahwa Islam menyatukan umat tanpa memandang bangsa, bahasa, maupun asal budaya. Di tengah jamaah Turki, Arab, Afrika, Eropa, hingga Asia Tenggara, para peneliti dari Indonesia merasakan hadirnya Islam wasathiyah — Islam yang damai, toleran, dan berkemajuan.

Jejak Spiritualitas untuk Riset dan Diplomasi Akademik

Kunjungan ke Masjid Biru bukan sekadar agenda tambahan riset lapangan, melainkan pengalaman spiritual yang memperkaya perspektif akademik para peserta. Mereka menyadari bahwa meneliti peradaban Islam tidak cukup dengan mempelajari dokumen sejarah, menyentuh langsung ruang ibadah, menyatu dalam khusyuknya doa, dan merasakan denyut komunitas menjadi bagian penting dalam menggali makna autentik peradaban Islam.

Saat meninggalkan masjid, wajah para peneliti memancarkan keteduhan. Di bawah langit Istanbul yang cerah, pengalaman salat di Masjid Biru melekat sebagai pengingat bahwa ilmu dan ibadah tidak pernah dapat dipisahkan. Bahwa kejayaan peradaban Islam hanya dapat diraih ketika keduanya berjalan seiring.

Masjid Biru, yang telah berdiri selama lebih dari 500 tahun, kembali membisikkan pesan kepada para peziarahnya, bahwa peradaban tidak hanya dibangun oleh kekuatan, melainkan oleh keimanan yang terus dirawat dan diwujudkan dalam kehidupan.