Pemberdayaan Pesantren Berbasis Spiritual Entrepreneur: Fenomena Gerakan Sosial Ekonomi Idrisiyyah
Pada Hari Kamis, 28 Maret 2024, telah dilaksanakan kegiatan Diskusi Bulanan Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam (Prodi PMI) yang dihadiri oleh WG. Pramita Ratnasari selaku Kaprodi PMI dan juga dihadiri oleh Study Rizal dan Isna Rahmawati selaku dosen prodi PMI. Kegiatan ini dimoderatori oleh Muhtadi selaku Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM), dan yang paling utama adalah narasumber yang membawakan materi pada kegiatan ini yaitu Asep Usman Ismail, yang merupakan seorang guru besar bidang tasawuf di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Kegiatan ini dimulai pada pukul 10.00 WIB di ruang meeting lantai 1 Gedung FDIKOM. Muhtadi selaku moderator membuka kegiatan ini dengan memaparkan sedikit pengantar mengenai konsep pemberdayaan pesantren. Setelah memberikan sedikit pengantar, Muhtadi mempersilahkan narasumber untuk memaparkan materi yang berjudul “Pemberdayaan Pesantren Berbasis Spiritual Entrepreneur: Fenomena Gerakan Sosial Ekonomi Idrisiyyah”.
Asep menjelaskan, bahwa dalam konsep pemberdayaan pesantren terdapat dua faktor yang mempengaruhi, yaitu penguatan kelembagaan pesantren dan penguatan kemandirian ekonomi pesantren. Pada konsep spiritual, entrepreneur berarti semangat bisnis berdasarkan pada agama dan sistem yang mengaturnya. Ia menegaskan bahwa Tarekat Idrisiyyah menekankan konsep spiritual entrepreneur ini dengan mengembalikan kegiatan bisnis kepada tiga pokok ajaran agama yaitu tauhid, fiqih dan tasawuf.
Menurutnya, konsep spiritual Idrisiyyah ini cukup unik, karena lahir dari paradigma neo-sufisme yang kemudian melahirkan etos bisnis dengan motivasi beribadah, artinya ketika sudah dikumandangkan nya azan dan bergegas untuk sholat maka kegiatan bisnis dihentikan untuk sementara. Kemudian dalam Idrisiyyah tidak ada istilah karyawan dan karyawati namun diganti dengan istilah khadimun-khadimat yang biasanya dipimpin oleh seorang mursyid. Semua kegiatan yang dilakukan secara professional diberikan dan dilakukan oleh seorang mursyid.
Asep juga menjelaskan bahwa spiritual entrepreneur memiliki tiga jembatan yang menjembatani gerakan sosial ekonomi Idrisiyyah, diantaranya adalah lillah (menyerahkan semua kepada Allah, ini merupakan tingkat tauhid yang sudah tinggi yaitu tauhid rububiyyah), kemudian ada fillah (berusaha berada dijalan Allah, menjalankan hukum yang ditetapkan Allah dan melaksanakan aturan yang telah dibuat oleh Allah) dan yang terakhir adalah billah (kita sebagai manusia mencari rezeki melalui jalan entrepreneur tetapi tugas kita hanyalah berusaha dan bekerja keras namun hasil akhir nya kita pasrahkan dan kembalikan kepada Allah. Semua jembatan itu harus berada dalam bimbingan mursyid untuk kemandirian ekonomi pesantren.
Gerakan Bisnis Idrisiyyah awal berdirinya dengan sebuah yayasan yang dimana yayasan tersebut menjadi tempat dimana pengelolaan asset pesantren dilakukan. Kemudian ditambah lagi dengan adanya KOPONTREN (Koperasi Pondok Pesantren) Fathiyyah yang menjadi wahana pengembangan potensi bisnis Idrisiyyah. Lalu koperasi ini mendirikan sebuah warung serba ada (WASERDA). Setelah waserda didirikan gerakan bisnis Idrisiyyah berkembang menjadi Baitul Mal Wa Tamwil (unit pengumpul zakat, pengelolaan keuangan mikro LKM, sahabat dhuafa dan pendampingan ekonomi sektor informal). Kemudian berkembang pesat lagi menjadi PT Umi Holding Company GBI yang bergerak di sektor industri perumahan dan jasa. PT Umi merupakan singkatan dari Usaha Mandiri Idrisiyyah.
Nilai keteladanan mursyid menjadi modal percepatan penguatan kelembagaan karena mursyid menolak terhadap asset perusahaan, hal ini juga berdampak pada kemandirian ekonomi pesantren. Karena asset pesantren adalah untuk pemberdayaan pesantren, Yayasan mengelola asset pesantren dengan sebaik mungkin diantaranya adalah kegiatan dakwah mursyid (mursyid jika berpergian memakai kendaraan milik yayasan bahkan rumah yang ditempati juga milik yayasan), mengembangkan sarana prasarana dan media pendidikan pesantren, mementingkan kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan, dan yang terakhir adalah memperluas infrastruktur kawasan pesantren terpadu
Setelah semua materi telah dijelaskan dan dipaparkan, moderator memberikan kesempatan kepada para dosen yang hadir pada kegiatan tersebut. Sesi diskusi pun tidak berlangsung lama karena pertanyaan-pertanyaan telah terjawab dengan tepat dan cepat oleh narasumber.
Kegiatan Diskusi Bulanan Prodi PMI pun telah selesai. Muhtadi, selaku moderator menutup kegiatan kemudian dilanjutkan oleh Pramita selaku kaprodi PMI untuk menyerahkan sertifikat penghargaan kepada narasumber dalam kegiatan ini dan ditutup dengan melakukan sesi dokumentasi bersama.
Kesimpulan yang dapat diambil dari kegiatan Diskusi Bulanan Prodi PMI ini adalah salah satu kunci keberhasilan gerakan bisnis Idrisiyyah adalah dengan penerapan konsep "spiritual entrepreneurship" yang memadukan aspek keagamaan dengan kegiatan ekonomi. Para pengikut gerakan ini meyakini bahwa kegiatan berwirausaha bukan hanya untuk mencari keuntungan semata, tetapi juga sebagai bentuk ibadah dan kontribusi positif bagi masyarakat.