Mengangkat Tema Democracy and Sustainability, Prodi Bimbingan Dan Penyuluhan Islam Menggelar International Public Lecture.
Ciputat, 25 Agustus 2023 - Program Studi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sukses menggelar International Public Lecture. Tampil sebagai narasumber adalah Ludger Helms dari Departemen Ilmu Politik Universitas Innsbruck Austria. Bertempat di Meeting Room Lt. 2 dari Pukul 08.30 -11.00 Wib, dipandu moderator Aida Nuraida, mahasiswi Magister KPI. Hadir membersemai kegiatan, Dekan FDIKOM, Gun Gun Heryanto, Wakil Dekan 1, Fita fathurokhmah, Wakil Dekan 2, Rubiyanah, dan Wakil Dekan 3, Muhtadi. Hadir juga Kaprodi BPI, Nasicah dan Ketua Tim Tata Usaha, Sundus Nuzulia, serta para guru besar, dosen dan mahasiswa.
Dekan FDIKOM Gun Gun Heryanto, sebagai keynote Speaker menyampaikan pentingnya rekognisi nasional dan internasional dalam mewujudkan visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi universitas kelas dunia dengan keunggulan integrasi keilmuan, keislamaan dan keindonesiaan. Lebih luas dekan menjabarkan, bahwa, kegiatan International Public Lecture ini sangat penting dalam mengembangkan budaya akademik di lingkungan fakultas. Profesor Helms dari Universitas Innsbruck Austria akan berbicara banyak tentang demokrasi dan keberlanjutan. Hal ini akan menambah wawasan dan pengetahuan berlimpah yang bisa didiskusikan. "Dalam konteks demokrasi dan keberlanjutan, UIN Jakarta adalah pionir milestone muslim terbanyak di dunia dan melaksanakan demokrasi secara baik”, pungkasnya.
Prof. Helms dalam presentasinya menyampaikan bahwa demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan, di mana para pemimpin dipilih secara demokratis melalui cara acara demokratis. Menurut Ludger ada enam proposisi demokrasi: Pertama, konsepsi demokrasi liberal sebagai suatu jenis pemerintahan tertentu secara umum sangat kondusif untuk menghasilkan solusi ekologis yang berkelanjutan; Kedua, pengorganisasian pemerintahan demokratis dalam jangka waktu empat atau lima tahun mungkin tidak secara khusus mendukung upaya mencapai kebijakan berkelanjutan yang terfokus pada jangka panjang–namun hal ini juga tidak mengesampingkan hal tersebut; Ketiga, memperluas peluang partisipasi demokratis bukanlah jaminan terciptanya kebijakan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan; bahkan mungkin saja semakin banyak partisipasi mempunyai efek sebaliknya; Keempat, elite politik dalam sistem demokrasi, yaitu para pemegang jabatan politik–meskipun secara umum lebih berpendidikan dibandingkan warga negara pada umumnya–tidak lebih fokus pada keberlanjutan dibandingkan warga biasa dan masyarakat luas; Kelima, kepemimpinan demokratis adalah, lebih dari sekadar melaksanakan “kehendak rakyat” dengan setia; dan Keenam, inovasi teknologi, kerja sama internasional, dan “kepemimpinan retoris” berpotensi menjadi katalis kuat bagi kebijakan yang lebih berkelanjutan”.
Pada sesi terakhir adalah diskusi dan tanya jawab. Fita Fatkhurohmah, Chamiyati Shidqiyah, dan Wahyu Prasetyawan, mengajukan beberapa pertanyaan tentang demokrasi dan keberlanjutan di Indonesia. Prof. Helms menjawab dengan tangkas dan penuh semangat. (NSH)