Menelisik Iklim Kesejahteraan Sosial di Ujung Timur Indonesia
Kesempatan kali ini sedang datang pada diri saya, untuk bergabung menjadi bagian dari tim Ekspedisi Pulau Terluar di Supiori, Pulau Biak, Provinsi Papua. Ekspedisi pengabdian masyarakat ini dimulai dari hari Minggu, 14 Januari 2024 dengan berangkat dari Jakarta melalui transportasi darat Surabaya dan dilanjut dengan transportasi laut melintasi tiga zona waktu di Indonesia yaitu Makassar-Bau-Bau-Sorong-Manokwari-Biak.
Setelah kurang dari 6 hari di atas kapal yang ditemani dengan hembusan ombak di tengah Selat Kalimantan, Selat Sulawesi, Laut Banda, dan ‘kiriman ombak’ dari Samudera Pasifik, akhirnya pada hari Sabtu, 20 Januari saya dan tim sampai di sebuah Kampung atau Desa yang bernama Waryesi. Kami disambut meriah oleh warga setempat dengan tradisi ‘Menyambut Tamu’ khas Papua tepatnya Biak, yang bernama “Mansorandak” dan diiringi oleh Tarian Wor.
Pengabdian masyarakat dimulai, saya tergabung dalam sektor Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Alam pada ekspedisi kali ini. Sektor atau divisi yang disesuaikan dengan jurusan saya, yaitu Kesejahteraan Sosial. Sektor ini berfokus pada tiga hal yaitu pengembangan kewisataan, UMKM, dan pengelolaan hasil perkebunan dan laut Kampung Waryesi. Menyesuaikan dengan kehidupan sosial dan situasi kesejahteraan yang ada di daerah yang menjadi lokasi pengabdian kami.
Masyarakat di Kampung Waryesi mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani dan memanfaatkan hasil kekayaan laut samudera pasifik sebagai nelayan dengan mencari ikan dengan menggunakan perahu kecil. Beberapa masyarakat merupakan pegawai di kampung atau di kota, guru, pengrajin, dan juga pendeta. Selain itu, kampung Waryesi memiliki banyak potensi diantaranya adalah wisata, hasil alam: Hutan mangrove, buah Pinang, Ikan laut dan air tawar, pohon kelapa; tradisi dan kebudayaan Papua yang masih asri. Kampung Waryesi juga diberkati dengan fasilitas pendidikan yang tergolong maju diantara wilayah lain yang ada di Pulau Biak. Semua hal itulah yang menunjang taraf kesejahteraan sosial yang ada di Kampung Waryesi.
Melihat potensi besar dan hambatan yang dimiliki oleh masyarakat Waryesi, terutama dalam hal wisata, kami melakukan FGD bersama masyarakat yang terdiri dari aparat desa, tokoh pariwisata desa, tokoh budayawan, pemuda karang taruna, pemuda gereja, dan beberapa elemen masyarakat lainnya. FGD ini, bertujuan untuk menggali, membangun kesadaran, mengetahui hambatan dan masalah, serta merencanakan aksi yang harus dilakukan dalam waktu dekat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Saya berpedoman dengan ilmu kesejahteraan sosial yang saya dapatkan di bangku kuliah, lebih tepatnya metode intervensi pekerjaan sosial dalam skala komunitas untuk mengembangkan masyarakat, sebagaimana yang saya pelajari oleh para praktisi pekerjaan sosial dan dosen-dosen saya. Dalam hal ini, saya berperan sebagai fasilitator.
Saya memulai dengan tahapan membangun kepercayaan masyarakat terhadap tim, yang selanjutnya memantik peserta FGD untuk menentukan harapan atau target terhadap pengembangan wisata di Desa Waryesi. Waryesi memiliki wisata alam yang beragam, mulai dari pantai, pulau, goa, air terjun, dan juga hutan mangrove, semua itu, masih belum dikelola atau dikomersilkan secara baik. Tak salah, jika kebanyakan peserta FGD memiliki target untuk membangun bangunan pemecah ombak, jalan menuju air terjun, dan juga sarana pra-sarana untuk bersantai wisatawan yang akan datang.
Setelah itu, dilanjutkan dengan pembahasan target prioritas dengan masyarakat atau peserta FGD itu sendiri yang menentukan. Pembahasan-pun dilanjutkan dengan menggali hambatan dan masalah yang dirasakan oleh masyarakat itu, sehingga diketahui mengapa sebab-sebab impian dan target itu belum tercapai. Ketika semua permasalahan dan hambatan itu diketahui, terakhir, kami (fasilitator dan peserta FGD) merencanakan strategi dalam waktu dekat yang harus dilakukan guna mencapai semua impian yang telah ditentukan untuk mengembangkan potensi wisata di Desa Waryesi -terlebih pengembangan desa wisata di Waryesi merupakan program prioritas pemerintahan desa pada tahun 2023.
Ekspedisi Pulau Terluar ini benar-benar membuka wawasan dan pengalaman saya langsung terhadap kondisi kesejahteraan sosial-masyarakat yang ada di ujung timur negeri ini.
*Charles Dasiva, Mahasiswa Program Studi Kesejahteraan Sosial