Membebaskan yang Terkurung: Koreksional sebagai Wajah Kemanusiaan Prodi Kessos FDIKOM
Di ruang-ruang sempit lembaga pemasyarakatan, suara manusia kadang nyaris tak terdengar. Mereka yang tersangkut kasus hukum sering hanya dipandang sebagai narapidana—bukan sebagai pribadi yang punya kisah, luka, dan hak untuk berubah. Namun di balik semua itu, ada kerja sunyi yang tak banyak diketahui: upaya membebaskan yang terkurung, bukan hanya secara fisik, tapi secara sosial dan kemanusiaan. Di sinilah pekerjaan sosial koreksional mengambil maknanya yang paling mendalam.
Artikel ini merupakan refleksi dari Studium General Program Studi Kesejahteraan Sosial FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diselenggarakan pada 12 Juni 2025 di Auditorium FDIKOM. Acara tersebut dibuka oleh Dekan Prof. Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si dan Kepala Prodi Ahmad Zaky, M.Si, dengan menghadirkan tiga narasumber penting yang telah menjadi bagian dari sejarah dan masa depan prodi ini: Dr. Puji Pujiono, MSW (Ketua Umum DPP IPSPI), Dr. Siti Napsiyah, MSW (Wakil Ketua APKSI dan dosen Prodi Kessos), serta Dr. Arief Subhan, M.Ag, mantan Dekan dan dosen senior yang turut menginisiasi lahirnya Prodi Kesejahteraan Sosial di FDIKOM.
Dalam forum tersebut, disampaikan secara resmi bahwa Prodi Kessos FDIKOM menetapkan Pekerjaan Sosial Koreksional sebagai bidang unggulan dan distingsi keilmuan, sekaligus sebagai bentuk kontribusi spesifik dalam peta pendidikan pekerjaan sosial di Indonesia. Ini bukan hanya penguatan kurikulum, tetapi juga pernyataan ideologis bahwa UIN Jakarta, melalui FDIKOM, mengambil peran aktif dalam menjawab isu keadilan sosial dari ruang-ruang yang paling terpinggirkan: penjara, tahanan, rumah rehabilitasi, hingga ruang keluarga yang nyaris kehilangan harapan.
Bagi Prodi Kesejahteraan Sosial, bidang koreksional bukan sekadar cabang keahlian. Ia telah menjadi bagian dari komitmen moral dan keilmuan untuk menghadirkan wajah Islam yang membebaskan, merawat, dan memulihkan. Bukan kebetulan jika pilihan ini tumbuh dari rahim intelektual Ciputat—sebuah mazhab pemikiran yang sejak awal berpihak pada kaum mustadh’afin, pada mereka yang terpinggirkan secara sosial, kultural, maupun struktural.
Mazhab Ciputat, yang diwarisi dari pemikiran kritis Harun Nasution, Nurcholish Madjid, dan para penerusnya, meletakkan fondasi bahwa ilmu keislaman tidak cukup hanya berada di menara gading, tetapi harus hadir dalam denyut kehidupan masyarakat. Inilah mazhab yang membentuk wajah dakwah tidak hanya sebagai seruan dari atas mimbar, tetapi sebagai aksi nyata membela keadilan dan mengangkat martabat manusia. Dalam konteks itu, pekerjaan sosial koreksional menjelma sebagai ladang dakwah sosial yang paling konkret.
Tidak banyak yang menyadari bahwa penjara bukanlah tempat mati bagi peradaban, justru di sanalah kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah masyarakat kita masih memberi ruang bagi pertobatan dan pemulihan, atau sekadar ingin membuang mereka yang salah? Pekerja sosial yang terjun ke lapas, ke balai pemasyarakatan, ke rumah-rumah anak berhadapan dengan hukum, sedang menjalankan misi kultural dan spiritual. Mereka hadir membawa dialog, bukan penghakiman. Mereka mendengar sebelum berbicara, membina tanpa mencela. Di tangan merekalah nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin menjelma dalam praktik nyata.
Mengangkat pekerjaan sosial koreksional sebagai bidang unggulan adalah keputusan yang tidak populer, tetapi justru karena itu menunjukkan keberanian. Kampus ini tidak sekadar mencetak lulusan yang mencari kenyamanan kerja, tetapi membentuk agen perubahan sosial yang siap hadir di ruang-ruang yang penuh luka. Di tengah hiruk-pikuk pencarian prestise akademik, keberanian memilih jalan koreksional menunjukkan bahwa FDIKOM dan Prodi Kessos tidak kehilangan arah perjuangannya—yakni dakwah sebagai pembebasan.
Dan seperti halnya Mazhab Ciputat yang tidak pernah berhenti menggugat status quo, pekerjaan sosial koreksional juga terus mengajukan pertanyaan mendasar: mampukah masyarakat kita benar-benar memberi kesempatan kedua bagi mereka yang jatuh? Apakah hukum harus selalu berarti hukuman, atau bisakah ia menjadi jalan penyembuhan? Di balik dinding penjara, pertanyaan-pertanyaan itu menjadi nyata. Dan di sanalah para pekerja sosial dari Ciputat hadir, bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menemani proses menjadi manusia yang lebih baik. (srlk)