Kampanye Pemilu Berkeadaban
Kampanye Pemilu Berkeadaban

Pemilu 2024 memasuki tahap menentukan. Masa kampanye yang memberi ruang komunikasi lebih intensif dan masif bagi semua kontestan pemilu, baik pemilu presiden dan wakil presiden maupun pemilu legislatif.

Inti dari seluruh rangkaian kegiatan kampanye adalah komunikasi persuasif, untuk meyakinkan pemilih di ragam segmen, bahwa kandidat layak dipilih. Tentu, kampanye pemilu harus naik kelas! Bukan semata mendapatkan suara dengan segala cara, melainkan harus menghadirkan kampanye berkeadaban.

Metode berkeadaban adalah kampanye yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya, keadilan sosial, kebaikan bersama, menghadirkan ketenteraman dan menghargai kemajemukan.

Kampanye pemilu selalu dibatasi waktunya. Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis di bukunya, Persuasive Communication Campaigns (1993), kampanye adalah proses yang dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan dan dilaksanakan pada rentang waktu tertentu dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan.

Batasan soal rentang masa kampanye berbeda-beda di setiap pemilu. Hal ini bergantung pada kesepakatan politik, terutama di DPR. Masa kampanye Pemilu 2024 lebih pendek, hanya 75 hari (28 November 2023-10 Februari 2024).

Masa kampanye Pemilu 2019 berlangsung lebih lama, sekitar tujuh bulan (23 September 2018-13 April 2019). Pada Pemilu 2014, masa kampanye, khususnya untuk pemilu legislatif, lebih panjang lagi, 15-16 bulan, sejak penetapan peserta pemilu berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Untuk Pemilu 2009, masa kampanye sembilan bulan (5 Juli 2008-5 April 2009), merujuk ke UU No 10/2008.

Metode berkeadaban adalah kampanye yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya, keadilan sosial, kebaikan bersama, menghadirkan ketenteraman dan menghargai kemajemukan.

Rentang panjang masa kampanye tak jadi jaminan bagusnya kualitas kampanye. Terbukti dari ragam persoalan yang mengemuka, terutama menguatnya provokasi yang meneguhkan polarisasi di tengah masyarakat. Hoaks dan ujaran kebencian yang deras mengalir di media sosial, kanal-kanal komunikasi warga, dan ragam bingkai pemberitaan.

Isi media massa tak semuanya sejalan dengan norma-norma pemilu berintegritas. Kampanye miskin gagasan dan sepi dari dialektika rasional hampir selalu jadi ciri kampanye pemilu kita.

Dari sisi metode, kampanye Pemilu 2024 tak banyak berubah. Masih ada sembilan metode kampanye merujuk ke Pasal 26 PKPU No 15/2023. Dari pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye ke umum, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, iklan di media, rapat umum, debat pasangan capres-cawapres, medsos, kegiatan lain yang tak melanggar larangan kampanye, dan ketentuan aturan perundang-undangan.

Kegiatan lain yang tak melanggar larangan dan ketentuan perundang-undangan itu diperjelas lagi di Pasal 55 Ayat 2 PKPU No 15/2023, yakni kegiatan deklarasi atau konvensi, pentas seni, olahraga, bazar, perlombaan, dan/atau bakti sosial. Jika melihat beragam metode yang dibolehkan untuk dipakai selama masa kampanye, seharusnya banyak aktivitas kampanye bermanfaat yang bisa menaikkan level demokrasi kita.

Pemasaran politik

Hal terpenting dalam kampanye tentu meyakinkan pemilih. Kampanye sebagai aktivitas persuasi akan dimulai dengan menarik perhatian pemilih, merangsang ketertarikan (interest), lantas memantik hasrat (desire) untuk meyakinkan pemilih (conviction) agar bertindak (action) datang dan memilih di TPS di hari-H.

Dalam tulisan Richard Perloff, The Dynamics of Persuasion, Communication and Attitudes in the 21st Century (2010), komunikasi persuasif merupakan proses simbolis, yakni komunikator berusaha meyakinkan orang lain untuk mengubah sikap atau perilaku mereka mengenai masalah tertentu melalui transmisi pesan, dalam suasana pihak yang dipersuasi memiliki pilihan bebas.

Dengan demikian, ciri dari komunikasi persuasif adalah tersedianya pilihan bebas dan ruang kesukarelaan yang dibangun di antara mereka yang berkampanye dengan calon pemilihnya, bukan karena intimidasi, apalagi berdasarkan tekanan kuasa ekonomi dan politik dari hulu ke hilir yang menyebabkan hilangnya pilihan akibat penyeragaman ataupun mobilisasi.

Penanda lain komunikasi persuasif ialah argumentasi. Narasi, data, dan ajakan merupakan ekspresi simbolis yang diarahkan untuk memengaruhi khalayak sasaran dengan tujuan membentuk (shaping), memperkuat (reinforcing), atau mengubah (changing) pemilih.

Pencitraan politik yang dikemas dengan beragam cara harus diposisikan sebagai bagian dari pemasaran politik, bukan propaganda! Ini diperkuat pendapat Gary A Mauser dalam bukunya, Political Marketing: An Approach to Campaign Strategy (1983), bahwa pemasaran politik merupakan upaya memengaruhi perilaku massa (mass behavior) di situasi kompetitif.

Para kandidat mencari ”tempat” dalam persepsi khalayak dan menggerakkan perubahan perilaku memilih di lapis sosiologis, psikologis, ataupun rasional. Targetnya, mendapatkan hasil suara sebanyak-banyaknya di tempat pemungutan suara.

Memasarkan diri di tengah situasi kompetitif tentu bukan hal mudah. Perlu kecermatan dan ketepatan dalam membangun branding, menentukan segmen pemilih dengan peta zonasi yang tepat, serta pemosisian diri yang berbeda dan punya keunikan nilai jual di tengah eksistensi para kandidat yang bertarung di pilpres dan pemilihan legislatif.

Para kandidat mencari ’tempat’ dalam persepsi khalayak dan menggerakkan perubahan perilaku memilih di lapis sosiologis, psikologis, ataupun rasional.

Tipologi kampanye

Secara umum, ada tiga tipologi kampanye yang biasanya digunakan pada masa pemilu. Pertama, kampanye positif, yakni kampanye dengan cara mengeksplorasi ragam kelebihan, kekuatan, kesuksesan, capaian program, gagasan kandidat. Ruang publisitas politik memainkan peran sentral.

Diseminasi informasi biasanya bersifat multiplatform dan mengenalkan kandidat melalui visi, misi, program kerja, dan citra diri mereka ke pemilih.

Kedua, kampanye negatif. Biasanya kampanye dengan cara menyerang lawan (attacking campaign) dengan tujuan menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada mereka.

Basisnya data dan realitas yang memantik dialektika. Ragam kelemahan gagasan, program, dan rekam jejak kompetitor diangkat untuk menurunkan pamor mereka sekaligus menaikkan pamor dirinya. Serangan berbasis data dan realitas itu bisa diverifikasi dan diadu dengan data dan argumentasi lawan.

Ketiga, kampanye hitam, dominannya dengan menggunakan rumor, gosip, desas-desus, dan beragam informasi lain yang tidak bisa dikonfirmasi ataupun diverifikasi. Kampanye hitam ini menjadi sisi gelap demokrasi. Terlebih jika para kandidat, tim sukses, dan sukarelawan tergoda memasukkan isu berdaya ledak tinggi, seperti suku, agama, ras, antar-golongan (SARA).

Basis masyarakat awam dengan persentase yang tebal kerap menggoda kandidat dan tim sukses memaksimalkan kampanye dan propaganda hitam. Dengan kampanye hitam, ciri komunikasi persuasif yang ditandai dengan argumentasi dan pilihan bebas berubah jadi pembenaran seseorang atau sekelompok orang secara serampangan, yakni melalui hoaks, ujaran kebencian, provokasi, intimidasi, perundungan siber, persekusi, hingga doxing atau penyebarluasan informasi pribadi di dunia digital.

Kampanye naik kelas

Sudah seharusnya kampanye Pemilu 2024 bisa naik kelas! Kampanye berkeadaban yang bisa menguatkan kualitas demokrasi elektoral kita.

Pertama, kampanye harus terhindar dari segala jenis penyalahgunaan kekuasaan, seperti penggunaan aparat Polri, TNI, ataupun ASN dan fasilitas milik negara secara sewenang-wenang, baik terbuka maupun sembunyi-sembunyi, oleh peserta kampanye atau tim suksesnya.

Konflik kepentingan sangat mungkin muncul dan menguat jika para menteri, atau kepala daerah, bahkan presiden, berkeinginan memenangkan dirinya atau jagoannya yang berlaga di Pemilu 2024.

Kedua, kampanye berkeadaban harus berbasis program dan membuka kesempatan terjadinya dialektika di tengah masyarakat. Banyak narasi kampanye yang bisa membuat kita naik kelas.

Misal, bagaimana pemecahan masalah dari ketidakpastian global di bidang ekonomi, program penguatan politik luar negeri dan posisi strategis Indonesia ke depan, isu energi terbarukan, industri kreatif, program pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial. Kampanye tak terjebak hanya pada gimik.

Kampanye Pilpres 2024 tak ada petahana. Semua pasangan memiliki kesempatan sama untuk membangun narasi dan memenangi kontestasi.

Agar semua komponen masyarakat merasakan dan bisa memverifikasi calon pemimpinnya, jangan alergi untuk diajak berdiskusi, berdebat, dan menghadirkan dialektika. Masa kampanye sangat singkat, tentu akan bermanfaat untuk meyakinkan pemilih yang belum menentukan pilihan, yang masih bimbang, atau belum mantap dengan pilihannya.

Jangan menjerumuskan pemilih dengan narasi dan gimik kampanye yang tak bertanggung jawab.

Ketiga, kampanye berkeadaban menghadirkan sistem demokratis dan etos demokratis di masa kampanye. Sistem demokratis meliputi hukum dan aturan turunannya yang mengatur aktivitas kampanye, tata kelola kampanye oleh penyelenggara pemilu, dan proses pengambilan keputusan publik secara imparsial dan setara untuk semua kontestan.

Sementara itu, etos demokratis adalah formasi nilai-nilai demokratis di masyarakat, seperti nilai keberagaman, kejujuran, antipolitik uang, menghargai perbedaan pandangan, yang tentunya dibutuhkan untuk menjaga daya tahan demokrasi Indonesia saat ini dan ke depan.

Keempat, masa kampanye berkeadaban harus menguatkan literasi politik dan inokulasi komunikasi. Istilah inokulasi dikenalkan William J McGuire dalam inoculation theory, sebagaimana dikutip dalam buku Pfau, The Inoculation Model of Resistance to Influence (1997), analoginya seperti menyuntikkan vaksin kekebalan mental untuk menguatkan ”imunitas” pada nalar warga yang setiap hari diterpa keberlimpahan informasi.

Jangan menjerumuskan pemilih dengan narasi dan gimik kampanye yang tak bertanggung jawab. Jangan pula menipu warga dengan kebohongan publik yang disebarkan secara masif. Terlebih kini tersedia banyak fasilitas, seperti mahadata, propaganda komputasional, dan rekayasa algoritma, yang bisa menghadirkan pembenaran, bukan kebenaran. Kampanye harus menguatkan rasio yang berpihak pada keadaban dan kepentingan emansipatoris.

*Gun Gun Heryanto, Dekan FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Jakarta | Artikel di publikasikan di Kompas.Id, pada tanggal 01 Desember 2023