Santri Dulu dan Kini: Dari Pengetahuan Simbolik Sampai Identitas Politik
Istilah “santri” seringkali terlampau rumit didefinisikan atau bahkan mungkin ia begitu sangat terbiasa bagi telinga masyarakat Indonesia, sehingga sangat mudah dipahami tanpa butuh kepada penjelasan. Namun, tetap harus diakui bahwa istilah santri dalam perkembangannya telah mengalami pergeseran makna, bahkan mungkin terdistorsi sedemikian rupa, sehingga ia tercerabut dari wataknya yang “indigenous”, tidak lagi menjadi realitas “subkultur” dengan kekhasan dan keunikan budayanya yang berbeda dengan tradisi masyarakat pada umumnya.
Karena pesantren dipandang sebagai “subkultur”—yang karena keawaman saya sehingga membingungkan—maka, tak ubahnya seperti di tahun 50-an, bagaimana ketika Geertz melalui informan Jawa Priyayi-nya tiba-tiba menyimpulkan bahwa pernak-pernik yang dilihat dalam tradisi dan masyarakat Jawa adalah bentuk yang sebenarnya dari Hindu-Budha yang mengemuka dalam bentuk “subkultur” terbelah antara santri, priyayi, dan abangan. Lagi-lagi, para peneliti seperti Geertz banyak yang mengabaikan realitas mata orang yang memandangnya, sekadar mengulang ulah kolonial “tak melihat” yang umumnya cenderung serba berkepentingan.
Dulu di abad ke-19, santri itu mengacu pada seorang pelajar Islam yang berkelana (ke berbagai tempat) dan tinggal dalam waktu tertentu (untuk menyesap ilmu dari seorang kiai); disamping itu, ada istilah “kaum” (atau kaum putihan) merupakan istilah yang sering digunakan untuk menunjuk muslim saleh dalam berbagai teks Jawa zaman dahulu. Sejak abad ke-20, santri nampaknya mengalami pergeseran makna, sebagai muslim saleh, seseorang yang secara ketat memeluk dasar keyakinan agamanya.
Pada abad ke-21, sepertinya santri malah lebih cenderung dihubungkan dengan suatu politik identitas: sebagai milik satu kelompok atau golongan tertentu, bahkan mungkin mengangkat patronnya sendiri-sendiri yang mungkin antarsatu kelompok dan lainnya mempunyai perbedaan orientasi. Perubahan sosial jelas berdampak pada pergeseran struktur masyarakatnya yang pada tahap tertentu, juga merubah pula pola pikir, orientasi, dan kecenderungan-kecenderungan sosio-politiknya.
Santri saat ini, mungkin saja tidak terlampau identik dengan figur kesalehan, dimana ia dengan keyakinannya yang ketat mengikuti dan menjalankan tradisi keagamaanya. Tetapi, sepertinya malah tren “identitas politik” lebih penting dan lebih mahal dibanding nilai kesalehan yang dianggap absurd pada masa ini.
Ketika kita membaca teks-teks Jawa di masa lampau, kita disuguhkan pada sebuah epik para pengelana dengan suasana pengetahuan simbolik yang saling terhubung dan membentuk matarantai tradisi “kesantrian” yang secara perlahan membangun otoritas simbolik yang begitu kokoh dalam budaya masyarakat Nusantara. Santri lelana seperti Aji Saka atau Among Raga yang disebut sebagai legenda santri masa lampau, lebih mirip dengan pengalaman para tokoh sufi dalam cerita Al-Busyiri dalam “Kasyful Mahjub” yang berkelana mencari pengetahuan dan kebijaksanaan, dibanding sekadar seorang pertapa yang menyendiri dan sama sekali menjauhi keramaian.
Pengarang teks Jawa masa lampau, tidak sekadar menggubah karya-karya klasik yang mungkin berasal dari negeri-negeri sekitarnya, namun kerap kali melakukan interteks atas banyak karya yang berasal dari belahan sudut negeri lainnya. Itulah kenapa, Thomas Gibson menyebut bahwa karakteristik masyarakat Nusantara dipenuhi nuansa simbolik dalam berbagai bentuk pengetahuan.
Dengan meminjam formulasi Weber tentang “ideal type”, Gibson menghubungkan praktik ritual sebagai pengetahuan masyarakat Nusantara dengan otoritas tradisonal yang diperoleh secara turun temurun dalam tradisi raja-raja; pengetahuan agama Islam dengan otoritas kharismatik sebagaimana yang melekat dalam pribadi para kiai; jenjang pengetahuan yang hierarkis, terhubung dengan strata birokrasi modern saat ini.
Semua bentuk pengetahuan simbolik ini, sebenarnya dekat dengan apa yang disebut sebagai “budaya pesantren” yang sudah mengakar dalam realitas masyarakat Nusantara masa lampau. Sekalipun bahwa keutamaan yang melekat dalam pribadi seorang kiai kharismatik, ia tetap bukanlah “primus interpares” bagi para santri, sekalipun tetap saja terjalin suatu ikatan yang kuat secara simbolik yang tetap bertahan sampai saat ini.
Budaya santri kian memudar belakangan ini, terlebih ketika makna santri terus diseret kedalam kubangan politik identitas yang hampir kehilangan watak tradisionalismenya sebagai penghubung antara realitas kesalehan dengan realitas “kebaratan”; antara “keislaman” dengan “keindonesiaan” atau antara realitas “padang rumput” dengan “padang pasir”. Kini, orang-orang tiba-tiba muncul menyatakan pengakuan dirinya sebagai santri, untuk sekadar mempertegas identitas politiknya, bukan sebagai bagian dari tradisi pengetahuan simbolik yang berkelindan membangun watak kesalehan, keislaman dan keindonesiaan sebagaimana santri kelana di masa lalu.
Lucunya, muncul adagium-adagium perennial yang menyatakan, “sekali santri ya santri selamanya”. Seolah bahwa santri itu “identitas” yang melekat yang tak bisa diubah sekalipun sesungguhnya masyarakat dan beragam perniknya mengalami perubahan terus menerus. Bahkan yang lebih ekstrem, “sampai mati ya tetap santri”, seolah sebuah pengakuan berlebihan dan lebih kepada bentuk pembenaran atas dirinya sendiri. Keberadaan “Hari Santri” pun akhirnya lebih tampak sebagai sebuah kompromi politik dengan memperluas patronase baru dan bukan pada penguatan budaya pengetahuan atau bentuk-bentuk ritual simbolik di masa lalu yang saling terhubung sedemikian rupa, merajut benang-benang kesalehan dan keislaman, kebijaksanaan dan keindonesiaan yang humanis, kosmopolit, berlawanan dengan upaya-upaya tertentu dalam memperkokoh bentuk-bentuk politik identitas.