Penguatan Kapasitas Dosen dan Mahasiswa S2KPI: Perspektif Islam terhadap Hubungan Masyarakat
Hubungan masyarakat dalam Islam merupakan cabang dari pendidikan Islam yang bertujuan untuk memberi informasi kepada orang-orang tentang Islam. Untuk pertama kalinya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan pekerjaan rumah kepada Ja'far bin Abu Thalib untuk memimpin kerajaan Habasyah. Ja'far dipilih karena keahliannya dalam Al-Qur'an dan keterampilannya dalam retorika serta ucapan sistematis. Rasulullah adalah pemimpin masyarakat yang sukses dalam menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Mereka memiliki nilai kognitif dan emosional yang dipengaruhi oleh tindakan, keyakinan, dan pelajaran yang mereka terima. Sebuah subbidang ilmu sosial yang disebut hubungan masyarakat bertujuan untuk mengajarkan orang cara berkomunikasi dengan baik kepada orang lain.
Demikian kira-kira ringkasan dari paparan Novi Andayani Praptiningsih dalam diskusi Magister KPI (18/01) di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta. Paparan Novi, yang juga merupaan dosen Ilmu Humas di Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), dalam makalah berjudul "Perspektif Islam tentang Hubungan Masyarakat atau Public Relations," menjadi titik sentral perdebatan di kalangan dosen dan mahasiswa di lingkungan Fakultas Dakwah. Diskusi ini menciptakan suasana yang dinamis, di mana antusiasme muncul dari para dosen yang hadir.
Studi Rijal memberikan kontribusi penting dengan menjelaskan bahwa perspektif Islam dalam ilmu kehumasan tidak sekadar pelebelan ayat-ayat Al-Qur'an mengenai fenomena kehumasan. Sebaliknya, Ketua Program Studi S2 KPI, Tantan Hermansah, lebih condong menggunakan realitas kehumasan sebagai landasan pemahaman.
Dalam mengurai konteks tersebut, penulis artikel diskusi menggarisbawahi eksistensi kehumasan sejak zaman Rasulullah, terutama ketika Ja'far bin Abi Thalib diutus ke Raja Habasyah. Meskipun demikian, penulis menyampaikan keprihatinan bahwa belum terlihat dengan jelas kerangka keilmuan dalam bahan diskusi, termasuk artikel dan presentasi narasumber.
Menyikapi hal ini, penulis dengan tegas menyatakan bahwa ilmu kehumasan harus dibangun berdasarkan keilmuan sosial, melebihi batasan ilmu komunikasi. Meskipun pembahasannya mungkin terlalu kompleks untuk disajikan secara lengkap di sini, namun pemikiran ini menimbulkan pertanyaan kritis mengenai fondasi ilmu kehumasan dalam konteks Islam.
Dalam upaya mencari solusi, Novi mengusulkan pendekatan yang menggunakan ilmu komunikasi, ilmu dakwah, dan fenomena kehumasan, dengan merujuk pada kerangka piramida. Ia meletakkan ilmu dakwah di puncak piramida, ilmu komunikasi di kaki kirinya, dan masalah kehumasan di kaki kanannya. Langkah awal adalah mengidentifikasi problema kehumasan, diikuti oleh penjelasan dan solusi dari kedua ilmu tersebut.
Pendekatan ini menciptakan peluang integrasi ilmu. Jika ilmu komunikasi dan ilmu dakwah memberikan penjelasan dan solusi yang sejalan, hal itu akan melahirkan integrasi ilmu yang mendalam. Namun, ketika terdapat perbedaan, terutama dalam prinsip dan etika kehumasan, ilmu dakwah memberikan kritik dan masukan, menciptakan sebuah dialektika konstruktif antara kedua ilmu tersebut.
Pertanyaan mendasar pun muncul: bagaimana ilmu dakwah dapat membangun model kehumasan Islami yang khas? Apakah model ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan ilmu kehumasan secara lebih luas?
Melalui pendekatan argumentatif dan dialektis ini, kita diundang untuk merenung, mempertanyakan, dan menggali lebih dalam dalam upaya mencapai pemahaman yang lebih utuh mengenai peran ilmu kehumasan dalam perspektif Islam. Diskusi ini bukan hanya tentang perdebatan konseptual, tetapi juga sebuah upaya mengembangkan pondasi ilmiah yang kuat bagi ilmu kehumasan dalam konteks nilai-nilai Islam. (TAN)