Membangun Etika Kolektif di Era Digital: Tantangan Keadaban di Media Sosial
Membangun Etika Kolektif di Era Digital: Tantangan Keadaban di Media Sosial

Membangun Etika Kolektif di Era Digital: Tantangan Keadaban di Media Sosial

Oleh: Study Rizal L. Kontu*

Dalam kegiatan Goes to Campus Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Studium Generale mahasiswa S2 Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) dengan tema “Digital Ethic: Problematika Kontemporer di Era Media Sosial” di Ruang Theater Prof. Aqib Suminto berapa waktu yang lalu Dekan Gun Gun Heryanto menyampaikan bahwa tidak adanya keadaban di media sosial tidak terkait tinggi rendahnya pendidikan pengguna, namun soal kolektivitas. Kolektivitas ini akan menularkan kebaikan atau keburukan.

Pernyataan Dekan Gun Gun Heryanto yang menyoroti “kolektivitas” sebagai inti dari adab di media sosial cukup mendalam. Kolektivitas dalam konteks ini berarti bahwa interaksi di dunia digital tidak hanya dipengaruhi oleh individu, tetapi juga oleh kelompok atau komunitas daring yang dapat mendorong baik perilaku positif maupun negatif.

Di media sosial, perilaku dan sikap pengguna sering kali dipengaruhi oleh norma kelompok, tren, atau arus opini yang berkembang. Fenomena ini membuat pendidikan formal tidak selalu menjadi faktor utama yang menentukan sikap santun atau kasar seseorang di platform digital. Sebaliknya, tekanan sosial dan nilai yang berkembang dalam kelompok kolektif di media sosial memainkan peran penting. Misalnya, jika seseorang berada dalam komunitas yang menghargai diskusi konstruktif dan kritis, individu tersebut cenderung lebih berhati-hati dan beretika dalam berkomentar. Sebaliknya, dalam lingkungan yang condong ke perilaku negatif atau menyebarkan misinformasi, keburukan bisa semakin tersebar.

Pentingnya kolektivitas ini mengingatkan kita pada tanggung jawab bersama untuk menciptakan ruang digital yang sehat dan beradab.

Gun Gun Heryanto juga menuturkan bahwa perilaku negatif di media sosial yang kerap terjadi adalah kekerasan. Selain itu, adanya fenomena echo chamber yang harus diwaspadai.

Dekan FDIKOM secara tersurat menyinggung dua masalah utama di media sosial: kekerasan digital dan fenomena “echo chamber” yang berpotensi merugikan.

Pertama, kekerasan digital: Kekerasan ini bisa berupa cyberbullying, ujaran kebencian, pelecehan, hingga penyebaran informasi palsu atau fitnah. Bentuk-bentuk kekerasan ini tak hanya mempengaruhi individu yang menjadi targetnya tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang toksik. Di media sosial, kekerasan sering kali mudah menyebar karena sifat anonim dan kemudahan dalam membagikan konten.

Kedua, fenomena echo chamber: Echo chamber adalah kondisi di mana seseorang hanya terpapar informasi, ide, atau pendapat yang serupa dengan pandangan pribadinya. Ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang cenderung menampilkan konten yang disukai atau disetujui pengguna, menjadikannya terisolasi dari sudut pandang lain. Akibatnya, echo chamber dapat mempersempit cara pandang seseorang, memperkuat bias, dan mengurangi toleransi terhadap perspektif berbeda.

Kedua fenomena ini berbahaya karena berpotensi memperburuk polarisasi sosial dan membuat ruang digital menjadi semakin tertutup bagi keragaman pandangan.

Dekan sekaligus pakar komunikasi politik ini melanjutkan: “Ini menyebabkan kita harus waspadai karena digital bergantung pada komunikasi massa publik.” 

Pernyataan tersebut menggarisbawahi bahwa media digital sangat bergantung pada pola komunikasi massa publik, yang artinya konten yang disebarluaskan di media sosial tidak lagi terbatas pada individu atau kelompok tertentu saja, tetapi dapat diakses oleh banyak orang dalam waktu singkat. Karena sifatnya yang publik dan jangkauannya yang luas, setiap informasi atau interaksi yang terjadi di media digital bisa berdampak besar pada masyarakat luas.

Ketergantungan media digital pada komunikasi massa publik ini memerlukan kewaspadaan, terutama karena konten yang tidak diverifikasi atau bernuansa negatif bisa menyebar dengan cepat dan memengaruhi opini publik. Inilah yang menjadikan kolektivitas dalam media digital penting, sebagaimana dijelaskan Dekan Gun Gun Heryanto, karena setiap orang yang berpartisipasi di dalamnya memiliki andil dalam menentukan apakah ruang publik tersebut diwarnai oleh etika yang baik atau malah dibiarkan menjadi arena kekerasan digital dan echo chamber.

Pentingnya komunikasi massa publik di era digital mengharuskan setiap pengguna untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan informasi dan menanggapi konten, sebab dampaknya bisa jauh lebih besar daripada yang disadari pada awalnya.

Dengan demikian, meski media sosial seringkali minim keadaban, fenomena ini bukanlah soal tingkat pendidikan pengguna, melainkan soal kolektivitas perilaku yang terbentuk dalam ruang digital. Kekerasan digital dan fenomena echo chamber menjadi dua ancaman utama yang harus diwaspadai, terutama karena media digital bergantung pada komunikasi massa publik yang dampaknya meluas. Dalam konteks ini, penting bagi pengguna untuk berperan aktif membangun lingkungan komunikasi yang beretika dan konstruktif, sehingga media sosial dapat berfungsi sebagai ruang pertukaran yang positif dan inklusif bagi semua. (srlk)

* Lektor Kepala dan Direktur Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah (P3ID) FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Arikel ini telah tayang di retizen.republika.co.id pada tanggal 30 Oktober 2024

Tag :