SEMINAR MANAJEMEN STRATEGI: "IMPLEMENTASI STRATEGI PROSEDUR, PROGRAM DAN ANGGARAN”
Studium Generale bertema “Jurnalis Melek Hukum: Menyuarai Kebenaran dengan Tanggung Jawab” diselenggarakan oleh Program Studi Jurnalistik di Ruang Teater Lantai 4 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Selasa (20/6). Kegiatan ini dipersoalkan oleh Ahli Hukum Konstitusi dan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti. Sekitar 160-an mahasiswa Jurnalistik serta beberapa dosen menghadiri kuliah umum tersebut.
[caption id="attachment_10879" align="alignnone" width="320"] Bivitri Susanti saat menyampaikan materi. (DNK TV/Iwan Iraka)[/caption]
Ahli Hukum Konstitusi dan Dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti mengatakan bahwa pers berperan penting dalam mengukuhkan nilai-nilai demokrasi dan mewujudkan hak asasi untuk mendapatkan informasi masyarakat. Pers memiliki fungsi yang berperan penting dalam pelaksanaan demokrasi, sehingga pers dijadikan sebagai empat pilar demokrasi (The Fourth Power).
“Pers berperan penting untuk memenuhi hak asasi atas informasi, dan karenanya diminta menjadi penting untuk dijaga, dalam hal mendapatkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi,” ujarnya
[caption id="attachment_10880" align="alignnone" width="320"] Situasi kuliah umum prodi Jurnalistik. (DNK TV/Iwan Iraka)[/caption]
Tetapi pers tidak hanya sebagai penyalur suara rakyat saja, melainkan juga sebagai sarana perlawanan dalam pemberitaan dan kritik. Profesi Jurnalis menjadi profesi yang sangat penuh dengan resiko dilihat dari fungsinya. Berdasarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kasus kekerasan terhadap Jurnalis terus meningkat. Pada tahun 2021 terdapat 90 kasus kekerasan terhadap Jurnalis. Padahal pada dasarnya, setiap orang itu memiliki hak untuk berpendapat dan menyampaikan informasi sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28 Huruf E Ayat (3).
“Jika tekanannya melalui hukum, dewan pers yang akan berkata kepada pihak polisi karena sudah ada di dalam undang-undang pers. Kalau ada masalah dalam cara mendapatkan berita maka harus melalui dewan pers, tapi kalau fisik itu perlindungan khususnya tidak ada. Dewan Pers dan AJI hanya mengingatkan saja bahwa pegawai melakukan pekerjaannya maka tidak boleh melakukan kekerasan dan sebagainya,” tambah Bivitri.
Masalah ini sangat serius karena di negara Indonesia belum memenuhi perlindungan terhadap jurnalis khususnya jurnalis perempuan. Kekerasan yang dialami semakin beragam ragam mulai dari ancaman digital, kekerasan fisik oleh aparat hukum hingga terjadinya pembunuhan terhadap para pers yang sedang bekerja. Justru posisi jurnalis perempuan mendapat istilah double attack yang berarti dampak yang dirasakan oleh jurnalis perempuan terasa berkali-kali lipat karena posisinya sebagai jurnalis, ditambah lagi perempuanlah yang memegang kendali. Permasalahan ini menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan hanya para pegiat perlindungan pers saja seperti AJI, LBH Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, tetapi juga sebagai perwujudan peran perusahaan media yang menaungi dan pemerintah dalam memberikan hak perlindungan jurnalis.
[caption id="attachment_10881" align="alignnone" width="320"] Bivitri Susanti sebagai narasumber pada kuliah umum. (DNK TV/Iwan Iraka)[/caption]
Ketua Program Studi Jurnalistik UIN Jakarta, Bintan Humeira, mengatakan juga bahwa diadakannya kegiatan ini untuk mengasah pemikiran para mahasiswa untuk lebih kritis.
“Diskusi pada stadium generale ini sebagai salah satu wadah untuk mengasah nalar kritis mahasiswa dalam memahami realita yang terjadi saat ini maupun masa depan nanti,” ujarnya
Salah satu peserta yang hadir dalam Studium Generale, Muhammad Ali membatalkan bahwa dalam kegiatan ini sangat bagus dalam pelariannya oleh Pemateri
“Bivitri sebagai pemateri cukup luas dalam pendampingannya tanpa ada rahasianya, rasparasi informasinya sangat transparan karena dari isi acara melek hukum dari jurnalis itu memang dibahas dari segi Kode Etik Jurnalistik, kaidah-kaidah sebagai jurnalis dijelaskan secara transparan,” ujarnya.
Reporter Kuni Hanifah ; Penata Kamera Iwan Iraka ; Editor Mazaya Shabrina