Mahasiswa UIN Penerima Beasiswa Program 1000 Da'i Gelar Seminar Kekerasan Seksual
Mahasiswa UIN Penerima Beasiswa Program 1000 Da'i Gelar Seminar Kekerasan Seksual

Dalam mengembangkan kegiatannya Bamuis BNI memberikan banyak kontribusi keumatan salah satunya, program Beasiswa 1000 Da’i, termasuk ke berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta di Jabodetabek.

Kali ini mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penerima beasiswa program 1000 da’i mengadakan sebuah kegiatan seminar online dengan tema “Multi Perspektif Isu Kekerasan Seksual” dengan narasumber Dara Ayu Nugroho Putri (founder Gender Talk) dan Abdullah Faza Alfansuri (jurnalis Tangsel Media Com).

Dara Ayu Nugroho sebagai founder Gender Talk menyampaikan tentang multi perspektif isu kekerasan seksual, Dara mengatakan perspektif masyarakat Indonesia dalam memahami kasus kekerasan seksual dan pentingnya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang dinilai bersebrangan dengan dogma agama. Ia mendefinisikan kekerasan seksual  adalah setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Menurut Dara Kekerasan seksual dapat berupa pemaksaan hubungan seksual melalui ancaman, intimidasi atau kekuatan fisik, memaksakan hubungan seksual yang tidak diinginkan atau memaksa hubungan seksual dengan orang lain. Pelaku tidak terbatas kepada orang yang tidak dikenal. Namun, dapat berasal dari pasangan yang telah menikah, pacar, bahkan dari anggota keluarga. 29% pelaku kekerasan seksual di ranah privat/personal pada tahun 2017 adalah pacar. Persentase perempuan 15-64 tahun yang pernah/sedang menikah yang mengalami kekerasan fisik atau seksual dilakukan oleh pasangan pada tahun 2016 sebesar 10.6%. 6% bentuk kekerasan seksual dalam ranah privat terbanyak berupa kasus incest, yaitu kekerasan seksual oleh orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga. Kekerasan seksual dalam ranah keluarga ini paling banyak dilakukan oleh ayah kandung, paman, kakak kandung dan kakek kadung.

Dara juga mengatakan kekerasan seksual sama sekali bukan kesalahan korban. Budaya victim blaming atau menyalahkan korban harus dimusnahkan. Karena, pelakulah yang bertindak dan memulai tindak kekerasan seksual ini. Victim blaming dapat berbentuk seperti menyalahkan korban karena pakaiannya, menyalahkan karena ia tidak segera melapor, atau mempertanyakan kenapa ia keluar malam sendirian. Perilaku menyalahkan korban inilah yang mendorong lahirnya stigma terhadap korban kekerasan seksual di masyarakat. Kekhawatiran korban atas stigma tersebut sampai bisa diasingkan dari kehidupan sosial merupakan salah satu dari sekian banyak alasan korban untuk bungkam. Hampir 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya ke kepolisian. Sebanyak 20% dari mereka khawatir akan menerima cap negatif dari masyarakat, 13% merasa polisi tidak akan membantu mereka, dan 8% menganggap perkosaan yang mereka alami tidak cukup penting untuk dilaporkan. Sementara itu, dari laporan yang masuk ke polisi, hanya 2% pelaku yang berakhir di penjara.

Selain itu Abdullah Faza Alfansuri sebagai jurnalis Tangsel Media Com menyampaikan mengenai perspektif media, Faza mengatakan media-media di Indonesia ini banyak mengeluarkan berita tentang pemerkosaan, jadi media kita lebih tertarik terhadap berita-berita pemerkosaannya dibandingkan dengan masalah pelecehan seksual di luar sana. Kemudian yang menjadi sudut pandangnya pun malah memberatkan korban dengan memberikan stigma yang istilahnya kode etik jurnalisnya sangat jauh.

Faza menjelaskan banyak orang-orang yang mengaku jurnalis padahal pemberitaannya itu hanya mencari sensasi aja. Jadi hal-hal yang menarik menurut masyarakat, yang di baca masyarakat itu mereka beritakan tanpa misalkan dibmubui dengan hal-hal yang sebetulnya tidak demikian, dan pada akhirnya memberatkan korban.

Kenapa ini bisa  terjadi, mengapa media cenderung kebanyakan menyudutkan korban? Menurut Faza itu kembali lagi kepada kaderisasi setiap perusahaan medianya, karena memang di Indonesia ini standarisasi medianya itu sangat rendah, jadi cenderung pemberitaan itu lebih menyudutkan kepada korban, karena memang kapasitas jurnalisnya pun hanya sekedar menulis, hanya ingin absen, dan itu hal-hal yang menjadi permasalahan di kalangan media.