Maba Fidikom Mengikuti PBAK Berkelanjutan
Maba Fidikom Mengikuti PBAK Berkelanjutan
[caption id="attachment_1457" align="aligncenter" width="864"]Narasumber PBAK berkelanjutan Narasumber PBAK berkelanjutan[/caption] Mahasiswa Baru Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengikuti kegiatan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) Berkelanjutan. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 4 Nopember 2019 pukul 13.00 s/d 16.00 WIB di Gedung Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setelah agenda dialog dan silaturahmi dengan para orang tua mahasiswa Fidikom. Mengusung tema "Peningkatan Moderasi Beragama di Kalangan Mahasiswa Melalui Pikir dan Dzikir", kegiatan ini diisi oleh beberapa orang narasumber, diantaranya Asep Usman Ismail, Arief Subhan, Helmy Hidayat, dan Suparto. Bertindak selaku moderator Siti Napsiyah, Wakil Dekan 1 Fidikom. Selain mahasiswa, kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Dekan 2 Fidikom (Sihabudin Noor), Wakil Dekan 3 Fidikom (Cecep Castrawijaya), dosen dan staf Fidikom. Asep Usman Ismail memaparkan maksud dari beragama. Menurutnya beragama itu berupa keimanan, pengalaman ketuhanan, sikap dan tingkah laku. Kesadaran beragama, menurut Asep terorganisir dalam sistem mental dan kepribadian. "Kesadaran beragama meliputi aspek kognitif, aspek apektif, dan aspek motorik. Aspek kognitif akan nampak dalam konsep tentang Allah, Al-Qur’an dan Islam. Keterlibatan fungsi afektif terlihat di dalam pengalaman beragama seperti shalat, dzikir, doa, rasa kegamaan dan kerinduan kepada Allah. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku keagamaan" lanjut Asep. Sebelum mengakhirkan pemaparan materi, Asep menjelaskan mengenai manusia yanng terdiri dari fisik, intelektualitas, emosi, spiritual, personal, dan sosial. Materi selanjutnya dipaparkan oleh mantan dekan Fidikom, Arief Subhan. Menurut Arief ada pengelompokkan nama generasi sesuai dengan tahun kelahiran, yaitu generasi tradisionalis (sebelum tahun 1945), generasi baby boomer (tahun 1946-1964), generasi X (tahun 1965-1979), generasi Milenial (1980-1994), dan Generasi Z (tahun 1996-2012). "Generasi milenial merupakan generasi yang pada millenium baru memasuki usia remaja, rata-rata memasuki bangku kuliah. Setelah generasi milenial, muncul generasi baru yang disebut dengan generasi Z yang lahir antara tahun 1995-2012. Ciri-ciri generasi Z yaitu digital, hiper-customisasi, realistis, FOMO (fear-of-missing-out), we-conomist, DIY (do-it-yourself), dan kompetitif" kata Arief. Arief menjelaskan mengenai generasi Z yang digital native, dimana sejak lahir mereka telah mengenal dan menggunakan ICT dengan berbagai platform online. Mereka cenderung menyamakan kehidupan online dan realitas fisik. Generasi Z cenderung melakukan kustomisasi untuk membedakan diri dari yang lain sekaligus meneguhkan identitas. Mereka mempersiapkan dan merancang masa depan dengan baik karena lahir pasca 9/11. Selanjutnya generasi Z tidak mau tertinggal berita. Selalu update. Mereka merapakan konsep share dalam ekonomi. Generasi Z selalu belajar dari platform online untuk melakukan sesuatu sendiri. Mereka siap kerja keras dan bersaing di dunia global. "Dalam konsep revolusi industry 4.0, internet telah dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas sosial, politik, bisnis dan kesalehan-keagamaan bahkan kejahatan. Banyak pengambilan keputusan dipengaruhi oleh internet. Manusia menjadi terlalu percaya kepada layar (hp, laptop). Banyak informasi tentang agama diperoleh dari internet. Teknologi digunakan untuk meproduksi, mereproduksi dan mendistribusikan barang, jasa, bahan dan produk budaya." Lanjut Arief. Materi ketiga disampaikan oleh Helmy Hidayat. Helmy menjelaskan sejarah generasi manusia. Di masa lalu otoritas religious terpusat pada ulama, dengan berbagai persyaratan. Pada zaman sekarang atau era digital, otoritas religious tidak hanya pada ulama tetapi pada situs atau website dan berbagai platform digital lainnya. Adanya kompetisi atau persaingan untuk mendapatkan pengaruh yang lebih besar. Suparto, Dekan Fidikom menjadi pemateri terakhir. Suparto menjelaskan mengenai tafakur.  Menurutnya tafakur berarti pikiran yang mengandung pengertian refleksi dan kontemplasi. "Ada berbagai macam gaya berpikir, antara lain inkuisitif, objektif, positif, dan hipotesis. inkuisitif yaitu gaya berpikir yang dilakukan dengan bertanya. Objektif berarti selalu menyampaikan pernyataan yang didukung data dan fakta. Positif berarti selalu berpikir dengan mengemukakan optimisme. Hipotesis itu mirip dengan gaya objektif." Lanjut Suparto. Suparto menyebutkan bahwa tafakkur menjadi jalan menuju perilaku keagamaan yang tidak ekstrem. Tafakkur akan mengurangi munculnya hoax. banyak yang menggunakan sosial media untuk membuat hoax atau post-truth. Tafakkur dapat menangkal bahkan membongkar kebohongan itu. (yrd/mar)