Jurusan BPI Gelar Lomba Marawis
Dr. Arief subhan, MA
Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta
Baca al-Qur’an (Qur’anic recitation) merupakan ketrampilan paling dasar yang harus dimiliki seorang Muslim. Oleh karena itu, dalam tradisi pendidikan Islam, kemampuan baca al-Qur’an ini merupakan jenis pendidikan paling dasar. Dalam kuttab, lembaga pendidikan dasar Islam paling awal, pelajaran membaca al-Qur’an merupakan materi pelajaran utama. Setelah lembaga-lembaga pendidikan berkembang menjadi lembaga yang lebih kompleks seperti pesantren dan madrasah, termasuk pendidikan tinggi, pelajaran membaca al-Qur’an ini tetap menduduki posisi penting. Menempatkan baca al-Qur’an sebagai kemampuan paling dasar bagi setiap Muslim merupakan tuntutan tak terelakkan. Bagaimana mungkin seorang Muslim tidak bisa membaca kitab sucinya? Padahal ia diminta untuk menjadikan kitab suci itu sebagai pedoman dalam menjalani kehidupannya agar tetap berada dalam jalan lurus (sirath al-mustaqim); di samping itu, tuntutan membaca juga datang dari al-Qur’an sendiri. Sebagaimana diketahui, wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad saw adalah Iqra, yang dapat dimaknai sebagai perintah membaca. Dan membaca al-Qur’an jelas merupakan perintah pertama sebelum manusia yang beriman membaca teks atau realitas yang lain. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga memiliki tanggung jawab itu. Sistem seleksi terbuka yang dilakukan oleh universitas Islam ini menjadikan beragamnya mahasiswa baru, terutama dipandang dari sudut kemampuan baca al-Qur’an. Oleh karena itu, di semua fakultas di lingkungan kampus—lepas dari program studi dalam rumpun ilmu-ilmu Islam maupun rumpun ilmu-ilmu umum—terdapat pelajaran baca al-Qur’an. Tentu saja strategi pembelajaran baca al-Qur’an yang diterapkan antar fakultas juga berbeda-beda. Semua didasarkan pada kemampuan individual mahasiswa ketika diterima sebagai mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, belajar baca al- Qur’an diberikan pada semester awal dalam perkuliahan yang diberi nama Ibadah dan Tilawah. Dari namanya, mata kuliah ini memang tidak hanya berisi pelajaran baca al-Qur’an, tetapi juga mencakup pelajaran ibadah. Ibadah di sini meliputi ibadah wajib dan beberapa ibadah sunnah, termasuk di dalamnya memberikan pelayanan keagamaan yang seringkali merupakan bentuk role expectation masyarakat terhadap sarjana Muslim. Salah satu bentuk pelayanan kegamaaan yang diajarkan adalah kemampuan memandikan dan menshalatkan jenazah. Tradisi belajar baca al-Qur’an sebenarnya memiliki sejarah panjang di kalangan Muslim Indonesia. Masjid dan mushalla merupakan tempat- tempat yang dijadikan sebagai lokasi belajar. Di Jawa malah dikenal juga istilah nggon ngaji yang secara harfiah berarti “tempat mengaji”. Dapat diperkirakan bahwa keluarga santri akan mengirimkan anaknya untuk belajar baca al-Qur’an di tempat-tempat tersebut. Akan tetapi, ini memang terbatas pada fenomena keluarga santri. Di kalangan keluarga abangan, tradisi ini kemungkinan besar tidak ditemukan. Sehingga memang dimungkinkan seorang Muslim Indonesia tidak memiliki kemampuan baca al-Qur’an. Pada periode yang lebih belakangan, di kalangan Muslim Indonesia sebenarnya terdapat tradisi baru dalam belajar baca al-Qur’an. Tradisi itu berkaitan dengan munculnya metode baru dalam belajar baca al-Qur’an. Metode yang kemudian populer dengan Iqra itu rupanya membawa implikasi penting. Pertama, semakin cepatnya belajar membaca al-Qur’an. Dan kedua, berdirinya lembaga pendidikan baca al-Qur’an yang dikenal dengan TPA (Taman Pendidikan al-Qur’an). Perkembangan TPA dengan buku teksnya—yang dikenal dengan Iqra—menghidupkan kembali belajar baca al-Qur’an di kalangan masyarakat Muslim. Pada awalnya, TPA ini berkembang di kota-kota di Indonesia, dan pada perkembangan berikutnya juga merambah wilayah pedesaan. Dapat dikatakan, TPA merupakan kelanjutan dan perubahan (continuity and change) dari tradisi belajar baca al-Qur’an di masjid, mushalla dan nggon ngaji. Kelanjutan, karena aktivitas dan materinya sama; perubahan, karena pendekatan pembelajaran yang diterapkan lebih modern dan cepat. Meskipun demikian, tetap saja masih banyak generasi muda Muslim yang tidak bisa membaca al-Qur’an. Sebagian mereka melanjutkan pendidikan tingginya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mungkin ketika memilih universitas mahasiswa juga mempunyai niat untuk sekaligus belajar Islam—di samping menekuni bidang studi tertentu. Oleh karena itulah sampai sekarang, di dalam struktur kurikulum—terutama Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi—mata kuliah Ibadah dan Tilawah tetap dipertahankan. Mata kuliah ini dikordinasikan oleh Laboratorium Fakultas dengan buku teks yang sudah standard. Buku tersebut, berjudul Panduan Praktikum Qira’ah, Ibadah dan Dakwah (terbit 2004) merupakan hasil karya tim dosen yang ditulis berdasarkan pengalaman mengajarkan ketiga bidang tersebut— Qira’ah, Ibadah dan Dakwah—kepada mahasiswa. Dapat dikatakan bahwa perhatian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap kemampuan baca al-Qur’an mahasiswanya masih sangat besar [Arief Subhan].