Arti Bersyukur di Tanah Indonesia Timur
Arti Bersyukur di Tanah Indonesia Timur
Pejuang UIN JakartaHalo, Namaku Sarah Wahyuningsih, akrab disapa dengan panggilan Sarah. Aku adalah salah satu mahasiswi semester akhir di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Program Pejuang Muda menjadi sebuah pengalaman baru yang bikin aku sadar, kalo Tuhan itu bukannya ngga adil tapi Tuhan nunggu aku siap, memberi apa yang aku butuhkan, bukan yang aku inginkan. Program Pejuang Muda memberikanku banyak pelajaran yang tidak didapatkan dibangku kuliah. Sebuah pengabdian yang mana langsung hadir ditengah masyarakat untuk pengembangan bantuan sosial, pemberdayaan fakir miskin dan lanjut usia, pola hidup sehat dan lingkungan sehat serta membangun fasilitas untuk kepentingan umum sehingga manfaatnya akan dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Untuk berani melangkah diluar batas kemampuan, harus ada tekad dan dukungan yang amat besar. Pada saat pengumuman penempatan final, aku ditempat tugaskan di sebuah pulau yang sebelumnya aku tidak sama sekali tahu dimana dan baru pertama kalinya aku dengar. Ya, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. WOW, ini beneran aku diberangkatkan kesana? Jiwa eksplorku seketika berkobar, bersyukur dan amat senang. ingin sekali segera berangkat kesana. Dengan dukungan kedua orang tua dan keluarga besar, AKU SIAP MENJADI PEJUANG MUDA YANG BERGUNA DI TANAH ORANG! Pejuang UIN JakartaSelain itu, senang rasanya naik pesawat untuk pertama kali dan tidak pernah terpikirkan kalau ini dibiayai oleh pemerintah. Betapa beruntungnya aku menjadi salah satu yang terpilih dari 11.000 mahasiswa yang mendaftar menjadi bagian dari Pejuang Muda. Ini juga membuatku bersyukur, sangat bersyukur. Lulus sebagai peserta pejuang muda membuat orang tua, keluarga dan teman ku bangga akan pencapaianku di tahun 2021 ini. Pejuang UIN JakartaSumba Barat Daya nan Indah Sedikit yang aku tahu bagian timur Indonesia itu amat panas dan sulit air. Benar saja semua itu terjawab ketika aku sudah di Sumba Barat Daya. Disana aku belajar survive untuk cepat beradaptasi dengan cuaca yang berbeda di jawa, adat yang masih kental dan orang-orang yang mayoritas non-muslim. Sesampainya aku disana sudah disambut dengan udara nan terik panasnya matahari. Indonesia bagian timur memang tidak pernah bohong tentang iklim yang amat panas dibanding dengan di jawa tempat tinggalku, dan benar saja di daerah Kabupaten Sumba Barat Daya ini pun air itu harus beli seratus ribu rupiah untuk enam ribu liter air. Lagi-lagi aku amat bersyukur tinggal di daerah yang airnya melimpah ruah. Tetapi cuaca dan air tidak menjadi masalah besar bagiku. Ketika di perlihatkan betapa indahnya setiap titik penjuru yang ada di tanah Sumba. Bagaimana tidak? Disana aku benar-benar bisa merasakan dan menikmati alam ciptaan Tuhan dengan sunyi tidak banyak campur tangan manusia disetiap tempat wisatanya seperti Danau weekuri, pantai mandorak, pantai ratenggaro, pantai manangaba, bukit ledongara, bukit warinding dan lain-lain. Pikirku “Orang-orang yang tinggal disini pasti amat tenang, damai tanpa adanya gengsi hidup yang menjadi patokan hidup seperti di ibukota”. Ah jadi rindu. Indahnya Toleransi Di Tanah Sumba Menjadi kaum minoritas adalah awal kekhawatiranku ketika menginjakan kaki di tanah Sumba ini. Namun dengan menjadi minoritas bukan berarti tidak ingin mengenal lebih adat dan budaya yang ada disana bukan. Tahukah kalian hal yang unik, Bahwa Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan pemekaran dari Sumba Barat yang memiliki 11 kecamatan dengan Bahasa komunikasi yang berbeda-beda. Selain itu Sumba Barat Daya juga mempunyai banyak adat dan budaya yang amat beraneka ragam. Tetapi dengan banyaknya perbedaan yang ada, tidak menjadi hambatan bagi mereka untuk saling menghargai satu sama lain. Masyarakatnya pun sudah terbiasa dengan adanya perbedaan. Ada beberapa masyarakat yang pernah berinteraksi dan berkomunikasi denganku disana, katanya “ketika merayakan hari-hari besar keagamaan, masyarakat sering saling berkunjung walaupun beda kepercayaan. Hal ini menunjukan betapa indahnya toleransi beragama di tanah Sumba. Karena perbedaan sejatinya bukan memisahkan tapi menyatukan dengan keberagaman seperti semboyan negara kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Keterbatasan Bahasa Daerah Bukanlah Masalah Pejuang UIN JakartaTerbiasa dengan Bahasa Ibukota membuatku sedikit kewalahan mengerti Bahasa di tanah Sumba. Namun itu tidak menjadi masalah besar untukku dalam mencoba berkomunikasi dengan masyarakat disana. Banyak masyarakat yang juga membantu aku belajar sedikit Bahasa mereka dan menerjemahkan bahasa yang sulit dipahami. Bahkan banyak masyarakat yang akhirnya menggunakan bahasa Indonesia agar aku paham dengan apa yang mereka samapikan. “Satu hal yang kupelajari, selama kita dapat berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dan sopan dengan masyarakat, maka dalam melaksanakan tugas dilapangan pun akan lebih mudah”. Kesan yang amat berkesan Pejuang UIN Jakarta Ketika aku sedang turun di lapangan yang sedikit terpencil dari bagian Sumba Barat Daya untuk beberapa minggu, banyak sekali yang menarik perhatianku, salah satunya jarak mengambil air dari sumber airnya yang jauh. menjadikan masyarakat jarang membersihkan diri, terbiasa hidup kumal tanpa pakaian atas dan alas kaki dan lebih mengutamakan air itu untuk bahan pangan. Namun mereka sama sekali tidak terlihat menderita dan sangat menikmati hidup. Saat itu hati kecil ku terketuk untuk terus mensyukuri apa yang aku punya saat ini. Masyarakat disana mengajariku banyak hal arti bersyukur dan nikmat yang sudah dimiliki. Terima kasih Sumba Barat Daya sudah menjadi pengalaman terbaikku di tahun 2021. Harapanku kelak setelah ini aku masih punya kesempatan untuk mengeksplorasi lebih jauh wilayah-wilayah di Indonesia, dan menjadikan diriku sebagai sebuah manfaat. ~ Sekian sedikit cerita dan pengalamanku menjadi pejuang muda.