Akademisi  FDIKOM UIN Jakarta Presentasi di CSEAS Kyoto University
Akademisi FDIKOM UIN Jakarta Presentasi di CSEAS Kyoto University

Pada tanggal 13 Nopember 2024, delegasi dari Fakultas Dakwah yang terdiri dari Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. Fita Faturakhmah, M.Si, Wakil Dekan Bidang Administrasi umum, Dr. Rubiyanah M.Si, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama serta Ketua Program Studi Manajemen Dakwah, Amiruddin M.Si  berkunjung ke CSEAS Kyoto University yang diterima oleh Profesor  Fumiharu Meino, Profesor Akamoto Masaaki, Ph.D, dan Profesor Kobayashi Satoru, Ph.D. Pada tanggal 1 Januari 2017, Pusat Studi Asia Tenggara (CSEAS), diintegrasikan dengan Pusat Studi Kawasan Terpadu (CIAS) untuk diluncurkan kembali sebagai Pusat yang baru. Pusat Studi Asia Tenggara didirikan sebagai organisasi intramural di Universitas Kyoto pada tahun 1963 sebagai departemen penelitian yang bertanggung jawab atas penelitian komprehensif tentang Asia Tenggara, dan diikuti oleh Pusat Studi Asia Tenggara, yang menjadi organisasi pemerintah pada tahun 1965. Pusat Studi Kawasan Terpadu didirikan pada tahun 2006 sebagai departemen penelitian di Universitas Kyoto yang berbasis di Pusat Studi Kawasan Jepang, Museum Nasional Etnologi.

Pada kunjungan tersebut, akademisi FDIKOM UIN Jakarta, Dr. Fita Faturakhmah, M.Si telah mempresentasikan hasil riset berjudul Analysis on the Religious “Institutions” Social Media Discourse on the Worship Restrictions by the Ministry of Religious Affairs during the Covid Pandemic: Communicative Actions or Not?. Kegiatan ini dihadiri oleh para peneliti di CSEAS Kyoto University berasal dari Jepang, Uganda maupun Indonesia.

Pemaparan tersebut mengeksplorasi bagaimana organisasi Islam di Indonesia memanfaatkan media sosial di masa krisis yang dipicu oleh pandemi SARS-CoV-2. Secara khusus mengkaji komunikasi berbagai lembaga keagamaan melalui media sosial dalam menyikapi pembatasan ibadah Kementerian Agama dengan mengacu pada teori tindakan komunikatif Habermas. Analisis terhadap berbagai sumber media sosial menemukan dua kelompok berbeda tersebut memiliki pandangan berbeda mengenai pembatasan ibadah. Di satu sisi, Kementerian Agama sendiri dan organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama (NU) melonggarkan pembatasan pasca pembatasan awal. Sebaliknya, organisasi Islam terbesar kedua, Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tetap memberlakukan pembatasan tersebut. Analisis wacana media sosial mengungkapkan bahwa permintaan atau perintah pembatasan yang dilakukan lembaga keagamaan bisa jadi merupakan tindakan strategis dibandingkan tindakan komunikatif sesuai dengan dikotomi Habermas dalam berkomunikasi. Oleh karena itu, perbedaan permintaan atau perintah mencerminkan cara mereka menyampaikan interpretasi mereka sendiri terhadap doktrin agama dan legitimasi publik untuk mempengaruhi masyarakat Muslim di Indonesia