Rektor UIN Jakarta, Amany Lubis, Bahas Haji dalam Lintasan Sejarah

Sertifikasi Pembimbing Haji dan Umrah Profesional Angkatan ke-V tahun 2021 dilaksanakan secara daring, pada Senin (15/3).
Jas Merah atau jangan sekali-kali melupakan sejarah, ucapan soekarno ini juga sejalan dengan tema pertemuan kali ini yaitu “Haji dalam Lintasan Sejarah” dengan narasumber Rektor UIN Jakarta, Amany Lubis.
“Masa kolonial itu kan abad 16, tetapi islam sudah ada sejak abad 7, yakni di masa Rasulullah SAW. Itu adalah hikmah, Rasulullah menerima wahyu 3 tahun, sehingga beliau dapat memahamkan ajaran Islam, khususnya tauhid kepada seluruh masyarakat masa Rasulullah. Dan Bangsa Indonesia adalah bangsa pedagang, melaut untuk berdagang. Tidak dipungkiri ada delegasi-delegasi dari Nusantara telah bertemu dengan Rasulullah,” ucap Amany
Di dalam teori Mekah, Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang muslim Arab sekitar abad ke-7 Masehi.
Salah satu rukun Islam adalah ibadah haji. Namun haji pada zaman dahulu hanya dapat dilakukan oleh kalangan elit saja. Salah satunya Sultan Ageng Tirtayasa yang mengirim putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah. Setelah ke Mekah mereka langsung menuju Turki. Sebab perjalanan itulah Sultan Abdul Kahar bergelar Sultan Haji.
Berbeda dengan masa kerajaan, pada masa kolonial perjalanan haji sering dihambat, karena jamaah haji Indonesia yang pulang dari jazirah Arab memimpin gerakan untuk menolak kebijakan dari Belanda.
Saat Jepang menjajah pun lebih parah, karena perang terus menerus membuat mereka tidak mampu memberangkatkan dan menunaikan ibadah haji dari tanah air Indonesia.
Regulasi haji setelah Indonesia merdeka sedikit membawa angin segar, menteri agama tahun 1946, HM. Rasyidi, mengarahkan penataan administrasi kehidupan umat beragama dan menganjurkan perlunya persatuan seluruh bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan.
Setelah pemerintah Indonesia mulai menata pengelolaan haji, pada tahun 1949 terjadi perlonjakan jamaah yang cukup banyak.
Pada masa awal kemerdekaan, pengelolaan haji dilakukan sepenuhnya oleh Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) disetiap karesidenan.
Menteri Agama, Wahid Hasyim, dengan surat tanggal 1 Februari 1950 mengusulkan kepada Perdana Menteri RIS (Republik Indonesia Serikat) agar Panitia Perbaikan Haji Indonesia (PPHI) diakui dan disahkan sebagai satu-satunya badan yang sah di samping pemerintah.
Penetapan Menteri Agama No. 9 Tahun 1954 tanggal 13 April 1954 menyatakan bahwa tugas pemerintah c/q. Kementerian Agama khusus dalam bidang pemerintahan yang menyangkut soal haji, yaitu merealisasikan prosedur pendaftaran, menghubungi pemerintah Arab Saudi, menghubungi instansi pemerintah yang bersangkutan dengan penyelenggaraan Haji.
“Saya kira ini momen penting sekali, melalui penetapan Menteri agama tahun 1954, dibentuklah satu badan pemerintah republik Indonesia, semua mengenai haji mulai dari prosedur pendaftaran, registrasi, dan berkomunikasi dengan kerajaan Saudi melalui harmonisasi berbagai peraturan di Arab Saudi,” ucap Amany.