Prodi PMI Hadirkan Diskusi Pemberdayaan Perempuan Di Masa Covid-19
Dalam rangka meresepon penyebaran wabah virus Covid-19 yang mengakibatkan home quarantine, Program Studi Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan diskusi online melalui Google Meeting, pada Jumat (19/06/2020) dari jam 13.30 hingga jam 15.00 WIB.
Diskusi yang bertemakan “Covid-19, Dampak dan Peluang Pemberdayaan Perempuan” ini mendatangakan narasumber-narasumber yang capable dalam urusan pemberdayaan perempuan. Narasumber-narasumber tersebut adalah Rosita Tandos, MA., M.ComDev., Ph.D. Selaku Dosen Pengembangan Masyarakat Islam, dan Yulianti Muthmainnah selaku Ketua Pusat Studi Islam Perempuan dan Pembangunan, Institut Teknologi Bisnis – Ahmad Dahlan Jakarta (PSIPP ITB-AD Jakarta).
Diskusi ini dimoderatori oleh Prihatini, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, dan dihadiri oleh 60 audiences dari berbagai kalangan dan daerah seperti Dosen dan Mahasiswa. Diskusi ini sangat inspiratif menghadirkan berbagai sudut pandang dan analisa mengenai pemberdayaan perempuan di masa home quarantine saat ini.
Yulianti Muthmainnah menjelaskan bahwa ada banyak hal yang perlu Kita sadari terkait situasi pandemic Covid-19 ini. Berbagai kebijakan yang diterapkan pemerintah telah berdampak banyak pada aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satunya kebijakan PSBB yang saat ini masih diberlakukan di banyak tempat di Indonesia. Kebijakan ini ternyata tidak hanya mempengaruhi aspek kesehatan, tetapi juga ekonomi dan security.
Pada aspek ekonomi, kenyataan yang Kita bisa lihat adalah bahwa perempuan lebih mudah di PHK. Karena pekerja perempuan dianggap tidak memiliki keahlian, hidupnya ditanggung pasangan, dan gajinya lebih kecil daripada pekerja laki-laki. Padahal pada kenyataannya perempuan banyak sekali yang menjadi kepala keluarga, single parent, atau tulang punggung keluarga.
Kenyataan lain yang dapat Kita ungkap adalah perihal security. Pengurangan jumlah karyawan akibat dari kebijakan physical distancing telah berdampak pada bertambahnya jumlah jam kerja karyawan, seperti halnya Bank. Ternyata kurangnya jumlah karyawan Bank tidak sebanding dengan jumlah nasabah yang melakukan transaksi di Bank. Hal ini menimbulkan dampak yang negative bagi karyawan perempuan yang jam pulangnya bisa sampai malam. Kita bisa analisa, bagaimana jika karyawan tersebut harus pulang dengan alat transportasi umum yang jumlahnya pun dikurangi akibat kebijkan PSBB. Belum lagi perihal penerangan jalan. Jarak jalan raya ke rumahnya harus melalaui jalan yang sepi dan juga minim penerangan. Ini bisa menimbulkan rasa ketidaknyamanan bagi karyawan perempuan tersebut, jika harus terjadi hingga waktu yang cukup lama.
Tak kalah mencengangkan, Rosita Tandos menambahkan bahwa 3 minggu masa karantina kekerasan domestic meningkat signifikan dari 27 jenis kekerasan fisik. (LBH Apik 2020). Data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sampai 29 April, tercatat ada 184 kasus kekerasan domestic selama Covid-19 (Lipi, 2020). Hal ini menunjukan bahwa perempuan masih sangat perlu diperhatikan tingkat keamanannya hingga masa Covid-19 ini.
Beralih pada peran perempuan garda terdepan yang menangani para pasien Covid-19. Sayangnya budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat memunculkan multiple task bagi tenaga kesehatan Covid-19. Ada pemikiran yang tersebar di masyarakat bahwa ada hal yang diabaikan oleh tenaga medis perempuan seperti suami dan anak-anaknya, ketika mereka harus bekerja dalam jangka panjang. Seperti “Bagaimana ya anak dan suaminya? Siapa yang urus? Siapa yang melayani makan?” dsb. Tetapi jika tenaga medis itu laki-laki, masyarakat tidak begitu mempermasalahkan hal yang sama terhadap tenaga medis laki-laki itu. Seakan, perempuan memang superwoman yang sejatinya memiliki peran penuh terhadap pekerjaan rumah tangga dan ranah public.
Ada satu kasus di Tangerang Selatan, seorang Ibu bernama Yuli meninggal dunia akibat tidak makan karena tidak mempunyai uang, akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan di situasi pandemic Covid-19 ini. Yulianti Muthmainnah menduga bahwa ibu tersebut tidak hanya makan seharian saja, tetapi lebih dari itu. Bisa saja Ibu Yuli tersebut mendahulukan anak dan suaminya untuk makan daripada dirinya sendiri. Karena memang biasanya seorang Ibu dan istri selalu mendahulukan anak dan suaminya. Perasaan ini tentunya ada kaitannya dengan multiple task bagi seorang perempuan berumah tangga.
Lanjut Rosita Tandos, lalu bagaimana pemberdayaan perempuan tetap berlangsung walaupun pada masa pandemic saat ini? Sebelum menjawab hal ini. Perlu diperhatikan terlebih dahulu bagaimana penanganan yang baik terhadap Covid-19 di Indonesia saat ini. Indonesia perlu melakukan kolaborasi pentahelix berbasis komunitas. Dimana berbagai pihak harus bersatu dalam menghadapi wabah ini. Seperti akademisi, pemerintah, komunitas, media, dan sektor privat. Berikut adalah beberapa model dari pemberdayaan pada beberapa sektor yang terdampak pandemic ini:
- Sosial: Adanya intervensi psikologi sosial “shock of the pandemic”, modal sosial, sumber daya, dan fasilitas.
- Kesehatan: Peningkatan kualitas dan kapabilitas tenaga medis, obat, fasilitas, penelitian, dsb.
- Pendidikan: Motivasi, kepedulian, dan pengetahuan untuk keluarga, kelompok, dan komunitas.
- Ekonomi: Pengoptimalan peran para actor eknomi (Pemerintah, sektor privat, perorangan). Jaringan dan solidaritas.
Kenapa penting untuk memberdayakan perempuan? Perempuan merupakan individu yang juga memiliki banyak peran sosial, baik ranah domestic maupun public. Seperti ibu rumah tangga, pekerja professional, pemimpin, ulama, dsb.

Work from home bisa dimanfaatkan untuk melakukan pemberdayaan perempuan model baru yaitu virtual women empowerment, dimana dalam segi ekonomi bisa dilakukan industri rumahan, serta bekerjasama dengan institusi masyarakat lokal, seperti kelompok perempuan dan pemerintah lokal.
Intervensi Community Development bisa dilakukan pada merespon dengan penekanan psikologi sosial, pengembangan sumber daya, dan peningkatan global-local actions. Penekanan pemberdayaan juga terjadi pada kepedulian, kapasitas pemenuhan kebutuhan sehari-hari, kolektif tanggung jawab dan sukses, serta keberlanjutan dalam proses pemberdayaan itu sendiri. Tak lupa, teknologi menjadi hal yang penting dalam perhatian proses pemberdayaan saat ini.