Pendidikan dan Pembelajaran Sejarah

Bagi sebagian mereka yang mengagungkan paradigma positivistik dan materialistik di mana kehidupan itu nyata, berwujud dan bersifat bendawi adalah hal yang penting. Sehingga, hal di luar itu semua, akan tertolak atau tidak penting.
Demikian pula halnya, pendidikan atau pembelajaran sejarah yang kurang kongkrit atau tidak kasat mata output-nya bagi peserta didik. Akhirnya, pendidikan dan pembelajaran sejarah sedikit terabaikan. Karena pendidikan kita sepertinya terjebak pada hal-hal yang materialistik. Keterampilan teknis, dianggap lebih penting daripada ketrampilan non teknis, seperti misalnya kemampuan empati, kepedulian, semangat berkorban untuk sesama, bermanfaat untuk sesama dan lainnya.
Padahal, pendidikan dan pembelajaran sejarah sesungguhnya adalah tentang memaknai para tokoh dan peristiwa-peristiwa di masa lalu itu. Makna ini, sesungguhnya pula, akan memberikan pengayaan pada karakter peserta didik kita. Mohammad Hatta dalam buku Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan (1960) mendefinisikan sejarah berikut ini:
“Sedjarah wujudnya memberi pengertian dari masa lalu… ia menggambarkan di muka kita suatu ideal tipe, bentuk rupa dari pada masa itu, bukan gambaran yang sebenar-benarnya, tetapi gambaran yang dimudahkan, supaya kita mengenal rupanya… ia bukan melahirkan ceritra dari pada kejadian yang lalu, tetapi memberikan pengertian tentang suatu kejadian atau satu masa lalu dengan mengemukakan kedjadian itu”. (R. Moh. Ali 2005;36).
Sejarah itu tentang makna dari tokoh dan peristiwa. Bukan deretan nama tokoh, tanggal dan peristiwa belaka. Karena tokoh dan peristiwa memiliki makna yang dapat menjadi pembelajaran bagi generasi selanjutnya, termasuk peserta didik di sekolah. Inilah kenapa, pendidikan sejarah itu menjadi penting. Pembelajaran sejarah berkontribusi penting bagi penguatan karakter siswa.
Pendidikan dan pembelajaran sejarah sebenarnya akan mengisi ruang rasa dari peserta didik. Entah itu nilai-nilai sejarah tentang hal yang heroik, pengorbanan untuk kepentingan kemanusiaan, kerjasama dan kebersamaan, kegigihan dan ketekunan, serta lain sebagainya. Di mana hal ini merupakan vitamin bagi penguatan rasa dan karakter peserta didik, agar mereka unggul pada persaingan di era yang serba digital.
Nilai-nilai sejarah yang kaya makna itu penting untuk memenuhi fungsi afektif dari pendidikan. Karena pendidikan itu bukan menciptakan robot yang miskin rasa dan tidak kaya dengan nilai-nilai luhur.
Tetapi pendidikan, termasuk sejarah, menginginkan peserta didik itu menjadi manusia yang memiliki empati, solidaritas, pengorbanan untuk kemanusiaan, tolong menolong, penghormatan dan penghargaan terhadap sesama serta tanggung jawab. Biasanya, pendidikan dan pembelajaran sejarah menghadirkannya dari makna dari peristiwa di masa lalu tentang hal tersebut.
Sejarah itu banyak mengandung hikmah dan pelajaran yang dapat dijadikan sebagai obor, sekaligus panduan bagi peserta didik dalam mengarungi masa sekarang maupun masa depan nanti. Sehingga sejarah dapat menjadi penguat untuk tumbuhnya rasa percaya diri, untuk menggapai masa depan, sebagai hasil pemaknaan dari tokoh maupun peristiwa yang ada sejarah bangsanya tersebut.
Kisah sejarah heroik para tokoh dan peristiwanya akan membawa rasa optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesamanya. Sejarah juga akan mengajarkan cara memilah dan memilih, apa yang terbaik untuk diri, masyarakat dan bangsa. Pendidikan sejarah akan memperkokoh pondasi identitas dan budaya para peserta didik. Hingga akhirnya, akan memperkuat pondasi kebangsaan dan keindonesiaan kita. (mar)
[Penulis: Muhtadi, Doktor Bidang Ilmu Penyuluhan Pembangunan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ketua Program Studi (Kaprodi) Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fdikom), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta]
Sumber: rmco.id