Meliput Perang, Bertaruh Nyawa dan Kemanusiaan
Skenario terburuk dalam meliput daerah konflik salah satunya adalah kehilangan nyawa. Seperti Sory Ersa Siregar jurnalis RCTI yang tewas dalam meliput konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 29 Desember 2003.
Itu disampaikan Dr. Deden Mauli Darajat, M.Sc., Dosen UIN Jakarta, saat menanggapi narasumber dalam Seminar Nasional Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam, “Wartawan Kompas Berbagi Cerita Liputan Perang di Ukraina,” di Ruang Teater Prof. Aqib Suminto Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jumat (7/10).
Selain nyawa, dalam meliput meliput Perang Irak pada tahun 2005, seorang jurnalis Meutia Hafid pernah menjadi tawanan. Itu menjadikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Artinya, taruhan dalam meliput daerah konflik atau perang bukan main-main.
Muhammad Fanshoby, M.Sos, Dosen UIN Jakarta juga mengemukakan, dalam meliput daerah konflik atau perang dapat menggunakan pendekatan jurnalisme damai. Sebuah pendekatan dengan menjadikan konflik yang terjadi bukan sebagai persoalan “menang-kalah” dan “ditundukkan-menundukkan”.
“Menempatkan mereka yang berperang sebagai manusia yang menjadi korban dan sama-sama mengalami kerugian. Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi,” katanya.